Magelang. 05 Agustus 2025 — Di tengah maraknya dunia digital dan kreatif, profesi sebagai desainer grafis, khususnya desainer logo freelance, telah menjadi pilihan populer di kalangan anak muda. Mereka berlomba-lomba mengekspresikan kreativitas melalui berbagai kompetisi desain, baik secara daring maupun luring. Namun, di balik semaraknya dunia perlombaan ini, muncul satu persoalan yang kerap luput dari perhatian: hak cipta atas karya yang dikirimkan oleh peserta lomba.
Fenomena ini menjadi sorotan utama dalam penelitian yang dilakukan oleh Muhamad Lutfi Asafak, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya yang berjudul “Perlindungan Hukum Bagi Freelance Designer Sebagai Peserta Dalam Lomba Desain Logo, Lutfi mengupas secara mendalam celah hukum yang mengintai para pekerja kreatif independen saat berpartisipasi dalam lomba desain.
Lutfi menyoroti fakta bahwa di beberapa daerah, seperti di Desa Kaliabu, Kecamatan Salaman, Kabupaten Magelang, banyak desainer freelance yang rutin mengikuti lomba desain. Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang merasa dirugikan setelah karya mereka digunakan tanpa izin oleh penyelenggara atau pihak lain yang tidak memenangkan kontes. Karya-karya itu kemudian dipakai untuk tujuan komersial, termasuk dijadikan merek dagang oleh perusahaan, tanpa imbalan atau atribusi yang layak kepada si pembuat.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab dua pertanyaan penting. Pertama, bagaimana perlindungan hukum yang berlaku terhadap karya cipta logo milik desainer dalam konteks lomba desain? Kedua, apa saja upaya penyelesaian yang dapat dilakukan ketika karya tersebut digunakan tanpa izin?
Dalam kajiannya, Lutfi menggunakan pendekatan yuridis normatif yang menelaah ketentuan hukum yang berlaku, termasuk Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta dan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis. Salah satu temuan pentingnya adalah bahwa perlindungan hak cipta atas sebuah karya logo sebenarnya muncul secara otomatis sejak karya tersebut diwujudkan dan dipublikasikan. Artinya, meskipun tidak didaftarkan secara resmi, sebuah logo tetap memiliki perlindungan hukum sebagai karya seni rupa.
Namun, dalam praktiknya, mekanisme pembuktian hak cipta menjadi tantangan tersendiri. Dalam kasus sengketa, pembuktian bahwa karya tersebut benar milik si desainer bisa rumit tanpa dokumentasi atau bukti pendukung yang kuat. Oleh karena itu, Lutfi menekankan pentingnya langkah-langkah preventif, seperti pencatatan karya cipta dan bahkan pendaftaran logo sebagai merek dagang agar memiliki dasar hukum yang lebih kokoh.
Salah satu poin menarik dari penelitian ini adalah analisis terhadap peralihan hak atas karya dalam lomba desain. Dalam banyak kompetisi, desainer diharuskan menyetujui ketentuan yang menyebutkan bahwa hanya karya pemenang yang akan digunakan oleh penyelenggara. Namun kenyataannya, karya peserta yang tidak menang pun kerap digunakan tanpa sepengetahuan mereka. Di sinilah letak persoalan etika dan hukum yang belum banyak dibahas secara luas.
Lutfi juga menyoroti dua jalur penyelesaian ketika terjadi pelanggaran hak cipta. Pertama, penyelesaian non-litigasi melalui mediasi atau negosiasi, yang lebih cepat dan hemat biaya. Kedua, jalur litigasi melalui gugatan perdata di pengadilan, yang bisa ditempuh jika mediasi tidak membuahkan hasil. Dalam konteks ini, keberadaan bukti tertulis atau dokumentasi desain menjadi kunci utama dalam pembuktian di hadapan hukum.
Menariknya, penelitian ini tidak hanya relevan bagi kalangan desainer, tetapi juga menjadi refleksi bagi para penyelenggara lomba dan pelaku industri kreatif agar lebih transparan dan adil dalam menetapkan aturan. Lutfi menyarankan agar klausul-klausul dalam lomba desain dibuat lebih jelas dan tidak merugikan peserta. Desainer pun harus lebih berhati-hati dan memahami hak-hak mereka sebelum mengirimkan karya ke suatu kontes.
Secara keseluruhan, skripsi ini menjadi alarm penting di tengah gelombang digitalisasi industri kreatif. Perlindungan terhadap hak cipta bukan hanya soal legalitas, tetapi juga soal menghargai jerih payah dan kreativitas seseorang. Di dunia di mana satu logo bisa menjadi wajah dan nilai sebuah perusahaan, sudah sepantasnya hukum hadir untuk menjaga keadilan bagi para penciptanya. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA