Magelang, 06 Agustus 2025 — Dalam bayang masyarakat, aparat kepolisian adalah sosok tangguh yang selalu siaga dalam menghadapi situasi berisiko tinggi. Namun di balik seragam dan atribut tugasnya, tersembunyi tekanan psikologis yang tidak kecil—bahkan bisa berujung fatal jika tak ditangani dengan baik. Inilah yang diungkap dalam penelitian literatur terbaru berjudul “Stres pada Aparat Kepolisian” yang disusun oleh Fikri Dwi Andriyanto, mahasiswa Keperawatan Universitas Muhammadiyah Magelang.
Penelitian ini mencoba menyingkap sisi manusiawi dari profesi kepolisian yang kerap terlupakan. Menggunakan pendekatan systematic literature review, Fikri menganalisis tujuh artikel ilmiah dari database jurnal terkemuka seperti PubMed, Sciencedirect, hingga ResearchGate, untuk mengidentifikasi bagaimana beban kerja memengaruhi tingkat stres para aparat penegak hukum.
Ketika Tugas Jadi Tekanan
Sebagai abdi negara, polisi dituntut untuk memiliki kedisiplinan tinggi dan kesiapan menghadapi bahaya yang bisa datang kapan saja. Namun dalam praktiknya, hal ini justru menjadi salah satu pemicu stres yang kronis. Tugas yang menumpuk, jam kerja tak menentu, risiko kekerasan, hingga tekanan ekonomi kerap membebani mental para anggota kepolisian.
Dalam skripsinya, Fikri mencatat beberapa kasus nyata yang sempat menggemparkan publik. Salah satunya adalah kasus Brigadir Petrus Bakus yang membunuh dan memutilasi dua anak kandungnya—peristiwa yang diduga kuat dipicu oleh tekanan psikologis berkepanjangan. Dalam kasus lain, kematian Brigadir RA dalam sebuah mobil dinyatakan sebagai dugaan bunuh diri, yang kembali memunculkan pertanyaan besar: siapa yang menjaga para penjaga hukum ini?
Dari tujuh artikel yang dianalisis, mayoritas menyimpulkan bahwa beban kerja memiliki pengaruh negatif signifikan terhadap stres kerja dan bahkan berdampak langsung pada kepuasan dan performa kerja aparat. Penelitian oleh Muslim dan Ilmi (2024), misalnya, menyebutkan bahwa beban kerja dan stres secara bersamaan menurunkan tingkat kepuasan kerja, yang kemudian berimplikasi buruk pada kinerja petugas Satpol PP Kalimantan Timur.
Sementara itu, penelitian Cho (2023) menggarisbawahi pentingnya interaksi kelompok dan kepemimpinan transformatif dalam mengurangi tekanan psikologis di lingkungan kerja polisi. Ini menunjukkan bahwa manajemen organisasi juga berperan vital dalam mengurangi stres—bukan hanya individu semata yang harus menanggung beban.
Penelitian lain oleh Craddock dan Telesco (2022) bahkan mencatat bahwa paparan terus-menerus terhadap kejadian traumatis dapat menyebabkan efek jangka panjang yang merusak kesehatan mental petugas. Ketakutan, kecemasan, gangguan tidur, dan bahkan keinginan untuk bunuh diri menjadi risiko nyata yang harus dihadapi.
Fikri juga mengangkat teori tahapan stres dari Dadang Hawari yang menjelaskan proses progresif mulai dari stres ringan hingga tahap yang mengancam nyawa. Stres akut yang tak ditangani bisa berkembang menjadi gangguan tidur, depresi, penurunan kinerja, hingga kondisi fisik serius seperti gangguan jantung dan pencernaan.
Namun, tak semua stres bersifat negatif. Penelitian ini juga menyoroti dua sisi stres: eustres yang dapat memacu produktivitas, dan distres yang menurunkan kualitas hidup. Keseimbangan antara tekanan kerja dan kapasitas coping menjadi kunci utama.
Upaya Pencegahan: Bukan Sekadar Istirahat
Solusi yang ditawarkan pun tak sesederhana mengambil cuti atau berlibur. Strategi penanganan stres kerja dibagi menjadi tiga lapis: pencegahan primer seperti pelatihan manajemen waktu, pencegahan sekunder seperti olahraga dan meditasi, serta pencegahan tersier dengan dukungan profesional dan jaringan sosial.
Lebih lanjut, pendekatan sistemik diperlukan. Organisasi kepolisian harus menyediakan ruang aman untuk konseling psikologis tanpa stigma, serta mendesain ulang sistem kerja yang manusiawi dan realistis.
Penelitian ini bukan hanya menambah wawasan dalam dunia keperawatan dan psikologi kerja, tetapi juga menjadi cermin sosial bahwa petugas polisi bukan sekadar simbol otoritas—mereka manusia biasa yang juga bisa terluka secara emosional.
Dengan menyuarakan temuan ini, Fikri berharap aparat kepolisian bisa mendapatkan perhatian lebih dari lembaga dan masyarakat agar kesejahteraan mental mereka terjamin. Sebab, menjaga mereka sama pentingnya dengan menjaga hukum dan ketertiban itu sendiri. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA