Magelang, 06 Agustus 2025 – Kemampuan berbicara menjadi salah satu kompetensi penting yang harus dimiliki siswa dalam menghadapi tantangan pembelajaran abad ke-21. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan bahwa banyak siswa sekolah dasar masih kesulitan dalam mengungkapkan pendapat, menyampaikan gagasan, bahkan hanya sekadar berbicara di depan kelas. Masalah ini menjadi fokus perhatian seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Magelang, Intan Aminatul Khasanah, yang menggagas solusi pembelajaran melalui pendekatan inovatif dalam skripsinya.
Penelitiannya mengusung model pembelajaran Two Stay Two Stray (TSTS) sebagai pendekatan untuk meningkatkan keterampilan berbicara siswa kelas V di SD Muhammadiyah Integratif Dukun, Magelang. Model ini dinilai efektif karena melibatkan aktivitas diskusi dan kolaborasi aktif antar siswa yang tidak hanya mendorong mereka untuk berbicara, tetapi juga mendengarkan dan memahami gagasan teman-teman mereka.
Masalah Klasik: Siswa Pasif dan Malu Berbicara
Dalam latar belakang penelitiannya, Intan mencermati rendahnya keterampilan berbicara siswa di kelas V. Ia menemukan bahwa hanya 5 dari 20 siswa yang mampu menyampaikan pendapat secara terbuka di depan kelas. Banyak dari mereka enggan berbicara karena malu, gugup, dan kurang percaya diri. Selain itu, metode mengajar guru yang dominan bersifat ceramah juga memperparah situasi. Kurangnya kegiatan diskusi kelompok serta minimnya penggunaan metode pembelajaran aktif turut memperkuat temuan tersebut.
Fakta tersebut menjadi dasar Intan untuk menerapkan model TSTS yang memiliki prinsip dasar: dua siswa dari satu kelompok tinggal (stay) untuk menjelaskan hasil diskusi, sementara dua lainnya pergi (stray) mengunjungi kelompok lain untuk mendapatkan informasi baru. Skema ini tidak hanya mendorong siswa untuk aktif berbicara, tetapi juga memfasilitasi proses tukar informasi secara dinamis.
Strategi Terstruktur, Hasil Terukur
Penelitian ini menggunakan metode Penelitian Tindakan Kelas (PTK) model Kemmis dan Taggart, yang terdiri dari tiga siklus. Setiap siklus melibatkan tahapan perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Melalui pendekatan ini, Intan berupaya tidak hanya mengimplementasikan model pembelajaran, tetapi juga memperbaiki strategi berdasarkan hasil di setiap siklus.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan TSTS mampu meningkatkan keterampilan berbicara siswa secara signifikan. Setiap siklus menunjukkan tren peningkatan pada indikator seperti kelancaran berbicara, penggunaan kosakata yang tepat, intonasi suara, serta ekspresi saat berbicara. Pada siklus pertama, siswa masih tampak ragu dan kurang aktif. Namun dengan modifikasi—misalnya penambahan ice breaking dan rotasi peran—siklus kedua dan ketiga menunjukkan peningkatan antusiasme dan partisipasi siswa dalam diskusi.
Guru dan siswa sama-sama merasakan manfaat dari penerapan metode ini. Guru lebih mudah mengidentifikasi perkembangan siswa, sementara siswa merasa suasana kelas lebih menyenangkan dan tidak membosankan. Model TSTS juga menjadikan siswa sebagai pusat pembelajaran (student-centered), yang merupakan prinsip penting dalam pendidikan modern.
Meski membawa dampak positif, penerapan TSTS tidak tanpa kendala. Prosesnya membutuhkan waktu lebih lama dibandingkan metode ceramah konvensional. Selain itu, beberapa siswa masih kesulitan mengatur waktu diskusi dengan efektif. Namun demikian, tantangan ini tidak mengurangi keberhasilan metode secara keseluruhan.
Peneliti juga mencatat bahwa penting bagi guru untuk melakukan persiapan matang dan pengelolaan kelas yang baik agar model ini berjalan lancar. Kolaborasi antar siswa yang belum terbiasa bekerja dalam tim juga menjadi tantangan awal yang perlu diantisipasi dengan pelatihan atau pembiasaan.
Penelitian ini memberikan kontribusi nyata terhadap pengembangan model pembelajaran yang lebih humanis, aktif, dan partisipatif di sekolah dasar. Intan berharap temuan ini bisa diterapkan lebih luas, tidak hanya untuk pelajaran Bahasa Indonesia, tetapi juga pada mata pelajaran lain yang membutuhkan komunikasi aktif, seperti IPS atau PPKn.
Bagi guru, model ini memberikan opsi metode yang lebih bervariasi dan tidak monoton. Sementara bagi siswa, pembelajaran menjadi lebih menyenangkan dan mendorong mereka untuk tidak hanya menyerap informasi, tetapi juga mengungkapkan dan membagikannya.
Dengan demikian, penelitian ini menjadi bukti bahwa inovasi pembelajaran sederhana namun terstruktur dapat membawa perubahan besar dalam pengembangan potensi siswa, terutama dalam keterampilan berbicara—yang selama ini kerap terabaikan dalam proses belajar-mengajar di sekolah dasar. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA