Magelang, 06 Agustus 2025 – Di tengah persaingan ketat dunia pariwisata, kehadiran media sosial telah membuka jalan baru bagi strategi pemasaran yang lebih efektif, hemat biaya, dan luas jangkauannya. Inilah yang coba diangkat dalam penelitian Ibnu Hasyim Ashari, mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Magelang. Penelitiannya mengupas tuntas bagaimana Electronic Word of Mouth (E-WOM) menjadi senjata utama objek wisata Wapitt di Temanggung dalam menarik perhatian dan minat pengunjung.
Wisata Alam Jumprit Temanggung, atau yang akrab disebut Wapitt, adalah destinasi wisata yang berada di lereng Gunung Sindoro. Diresmikan pada tahun 2017, Wapitt menawarkan pengalaman menyatu dengan alam lewat suasana hutan pinus, paket camping, hingga acara bertema prewedding. Namun, yang menjadi sorotan bukan hanya keindahan alamnya, melainkan cara cerdas Wapitt dalam memasarkan diri melalui kekuatan suara pengguna di dunia maya.
Penelitian ini bertujuan untuk mengungkap strategi pemasaran E-WOM yang dijalankan oleh pengelola Wapitt. Dengan metode kualitatif deskriptif, Ibnu menggali data melalui wawancara, observasi, dan dokumentasi. Peneliti juga meninjau berbagai unggahan pengunjung di media sosial serta ulasan mereka di platform Google.
Hasilnya cukup menarik. Salah satu kekuatan utama Wapitt adalah kemampuannya memanfaatkan Instagram sebagai medium utama penyebaran informasi. Pengunjung yang membagikan pengalaman mereka di media sosial dengan menyertakan tagar #wapitt_temanggung akan mendapatkan apresiasi dari akun resmi Wapitt berupa repost. Strategi ini secara tidak langsung mengundang rasa bangga pengguna sekaligus memperluas jangkauan promosi tanpa harus mengeluarkan biaya besar.
Lebih lanjut, dalam membangun E-WOM, Wapitt juga mengoptimalkan elemen “3R” — Rating, Review, dan Recommendation. Peneliti mencatat bahwa akun Google Maps Wapitt telah mengumpulkan sekitar 800 ulasan dengan rating rata-rata 4.5, sementara Instagram dipenuhi dengan lebih dari 1000 unggahan bertagar #wapitt_temanggung. Komentar-komentar positif yang bertebaran, mulai dari pujian terhadap kebersihan tempat hingga kenyamanan saat camping, membentuk citra yang baik dan secara otomatis memunculkan rekomendasi alami dari satu pengunjung ke pengunjung lain.
Namun bukan berarti tanpa tantangan. Salah satu kelemahan E-WOM yang ditemukan dalam studi ini adalah kendala dalam melakukan repost karena beberapa akun pengunjung bersifat privat. Meski demikian, pihak pengelola tetap aktif menyebarkan informasi seputar event melalui tag dan pesan langsung ke komunitas yang relevan, sehingga memperluas peluang viralitas.
Penelitian ini menyimpulkan bahwa E-WOM adalah strategi yang sangat efektif bagi tempat wisata seperti Wapitt, khususnya dalam menjangkau generasi muda yang aktif di media sosial. Dengan biaya promosi yang rendah, namun jangkauan yang luas, E-WOM tidak hanya mampu meningkatkan kunjungan wisatawan, tetapi juga memperkuat ikatan emosional antara pengunjung dan brand wisata itu sendiri.
Menariknya, peneliti juga menekankan pentingnya konten. Wapitt konsisten membagikan konten visual seperti foto-foto kegiatan, promosi paket wisata, hingga cuplikan event di Instagram. Bahasa yang digunakan pun santai dan sesuai gaya anak muda, menjadikan Wapitt tidak hanya sebagai destinasi, tapi juga bagian dari gaya hidup.
Akhir kata, riset ini menegaskan bahwa pemasaran yang sukses di era digital tak selalu harus mahal. Dengan memanfaatkan suara pengunjung lewat E-WOM, tempat wisata seperti Wapitt mampu bertahan dan berkembang bahkan di tengah keterbatasan anggaran promosi. Strategi ini bisa menjadi contoh konkret bagi destinasi lain yang ingin bersaing di tengah padatnya lanskap pariwisata digital.(ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA