Magelang, 07 Agustus 2025 — Di tengah tantangan pendidikan abad ke-21 yang menuntut kecakapan berpikir kritis, kreatif, dan problem-solving, muncul satu pendekatan pembelajaran yang menarik perhatian: Problem Based Learning (PBL). Inilah yang menjadi fokus penelitian mahasiswa Universitas Muhammadiyah Magelang, Anisa Bilqis, dalam skripsinya yang mengkaji pengaruh PBL terhadap kemampuan memecahkan masalah pada mata pelajaran Ilmu Pengetahuan Alam dan Sosial (IPAS) siswa kelas V di SD Muhammadiyah Sirojudin, Kecamatan Mungkid, Kabupaten Magelang.
Penelitian ini lahir dari keprihatinan terhadap metode pembelajaran yang masih terlalu berpusat pada guru (teacher-centered) dan minim melatih siswa untuk berpikir secara mandiri. Seperti yang diungkapkan dalam latar belakang studi, siswa di kelas V SD Muhammadiyah Sirojudin menunjukkan kemampuan pemecahan masalah yang tergolong rendah. Hanya 11 dari 24 siswa yang mampu mencapai Kriteria Ketercapaian Tujuan Pembelajaran (KKTP), terutama dalam materi IPAS yang sebenarnya sangat kontekstual dan menuntut pemahaman logis.
Anisa melihat bahwa kondisi ini dipengaruhi oleh pendekatan pembelajaran yang belum inovatif. Guru lebih sering mengandalkan metode hafalan dan diskusi kelompok yang tidak terstruktur, serta tidak menyesuaikan model ajar dengan gaya belajar siswa yang beragam. Hal ini berdampak pada rendahnya partisipasi aktif siswa, serta kurangnya latihan dalam mengidentifikasi dan menyelesaikan masalah secara ilmiah.
Sebagai solusi, penelitian ini mengusulkan penerapan Problem Based Learning — sebuah model pembelajaran yang menempatkan siswa sebagai subjek aktif dalam menyelesaikan persoalan nyata. PBL menantang siswa untuk menganalisis, merumuskan strategi, mencari informasi, dan mengevaluasi hasil secara kolaboratif, sehingga proses belajar menjadi lebih bermakna dan aplikatif.
Penelitian ini menggunakan desain Pre-Experimental tipe One Group Pretest-Posttest Design, melibatkan 24 siswa kelas V sebagai sampel. Siswa diberi tes sebelum dan sesudah diberi perlakuan berupa pembelajaran dengan model PBL. Tes ini bertujuan mengukur empat indikator kemampuan pemecahan masalah: memahami masalah, merancang strategi penyelesaian, melaksanakan strategi, dan mengevaluasi kebenaran jawaban.
Hasilnya? Signifikan. Berdasarkan uji hipotesis menggunakan Wilcoxon Test, ditemukan bahwa nilai signifikansi (sig) adalah 0,000 ≤ 0,05. Ini berarti ada perbedaan yang bermakna antara hasil pretest dan posttest siswa, dengan kata lain: penerapan PBL memberikan dampak positif terhadap kemampuan memecahkan masalah siswa.
Apa yang membuat hasil ini menarik adalah bukan hanya pada peningkatan skor siswa, tetapi juga pada perubahan perilaku belajar. Dalam catatan observasi selama pembelajaran, siswa terlihat lebih aktif bertanya, berdiskusi, dan mampu mengaitkan materi pelajaran dengan kehidupan sehari-hari. Mereka tak lagi hanya menghafal teori, tetapi juga belajar menyelesaikan masalah seperti bagaimana menjaga sistem pencernaan manusia atau memahami ketergantungan dalam ekosistem — tema-tema IPAS yang sarat makna kontekstual.
Lebih jauh, penelitian ini juga membedakan antara tiga tahapan treatment PBL: pertama, siswa diajak memecahkan masalah secara individu; kedua, dalam kelompok kecil; dan ketiga, dalam konteks kehidupan nyata. Setiap tahapan memberikan kontribusi pada peningkatan rasa percaya diri, kerja sama, dan keterampilan berpikir logis siswa.
Meski model PBL membutuhkan waktu yang lebih panjang dan tidak selalu cocok untuk semua mata pelajaran atau semua tingkat usia, Anisa menilai bahwa model ini sangat tepat diterapkan di kelas menengah SD seperti kelas V. “Siswa mulai mampu berpikir abstrak, dan mereka menyukai tantangan jika diberikan dalam bentuk yang kontekstual dan kolaboratif,” ungkapnya.
Penelitian ini menjadi bukti bahwa inovasi dalam metode mengajar sangat menentukan kualitas pembelajaran. PBL bukan sekadar metode baru, melainkan pendekatan yang membentuk karakter pembelajar sepanjang hayat — yang tak hanya tahu jawabannya, tapi tahu bagaimana menemukan jawabannya.
Universitas Muhammadiyah Magelang, melalui karya mahasiswanya ini, kembali menunjukkan komitmennya dalam memajukan dunia pendidikan dasar di Indonesia. Hasil penelitian ini diharapkan menjadi rujukan penting bagi guru-guru, khususnya dalam mengadopsi metode yang mampu menumbuhkan keterampilan berpikir kritis sejak dini. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA