Waspada Kandungan Kimia Obat dalam Jamu Pegal Linu: Temuan Mengejutkan dari Temanggung
7 August 2025

mimin

Magelang, 07 Agustus 2025 – Sebuah penelitian terbaru dari Universitas Muhammadiyah Magelang mengungkapkan temuan yang patut menjadi perhatian publik, khususnya para pengguna jamu pegal linu di wilayah Temanggung. Penelitian yang dilakukan oleh mahasiswa Farmasi, Dwibara Bayuaji, mengangkat isu serius seputar potensi keberadaan Bahan Kimia Obat (BKO) yang disisipkan secara ilegal ke dalam produk jamu yang selama ini dianggap aman dan alami oleh masyarakat.

Jamu, sebagai warisan budaya kesehatan Nusantara, sudah sejak lama dipercaya memiliki khasiat dalam menjaga kebugaran dan meredakan berbagai keluhan tubuh. Jamu pegal linu, secara khusus, menjadi favorit karena dikenal dapat mengatasi nyeri otot dan sendi. Namun, dibalik manfaat tersebut, tersimpan potensi bahaya yang tersembunyi jika produk jamu mengandung zat kimia obat modern yang seharusnya tidak dicampurkan ke dalam obat tradisional.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah jamu pegal linu yang dijual di beberapa toko di Temanggung mengandung BKO seperti prednison, asam mefenamat, natrium diklofenak, dan ibuprofen. Keempat zat ini dikenal sebagai obat antiinflamasi nonsteroid (OAINS) atau steroid yang umum digunakan untuk meredakan nyeri dan peradangan, tetapi hanya boleh dikonsumsi dengan resep dan pengawasan medis karena memiliki potensi efek samping serius.

Metode yang digunakan adalah Kromatografi Lapis Tipis (KLT), suatu teknik analisis kimia sederhana yang efektif untuk mendeteksi senyawa tertentu dalam suatu campuran. Penelitian ini menguji empat sampel jamu (berkode A, B, C, dan D) yang dibeli dari toko-toko jamu di wilayah pasar Kranggan dan Pasar Kliwon Temanggung, berdasarkan popularitas dan kecepatan efeknya dalam mengatasi pegal linu.

Natrium Diklofenak Ditemukan di Tiga dari Empat Sampel

Hasil pengujian menjadi sorotan utama dari studi ini. Dari keempat sampel yang diuji, tidak ditemukan keberadaan prednison, ibuprofen, maupun asam mefenamat. Namun, tiga dari empat sampel (B, C, dan D) dinyatakan positif mengandung natrium diklofenak.

Natrium diklofenak merupakan obat yang sangat umum digunakan untuk mengobati nyeri dan peradangan pada kondisi seperti radang sendi dan spondilitis. Meski efektif, penggunaan jangka panjang tanpa pengawasan dapat menimbulkan efek samping serius seperti perdarahan lambung, ulkus, dan gangguan ginjal.

Yang mengejutkan, jamu yang mengandung natrium diklofenak tersebut dijual bebas tanpa label komposisi yang transparan dan tentu saja tanpa pengawasan medis. Ini berarti, konsumen yang secara rutin mengonsumsi jamu ini bisa jadi tanpa sadar telah mengonsumsi obat sintetis dalam dosis yang tidak diketahui, yang pada akhirnya dapat membahayakan kesehatan mereka.

Pengujian Organoleptis: Rasa Pahit Tak Menjamin Alami

Sebelum dilakukan analisis kimiawi, keempat sampel juga diuji secara organoleptik, yaitu pengamatan melalui indera untuk menilai warna, rasa, aroma, dan tekstur. Semua sampel berbentuk serbuk halus dengan warna kuning atau kuning gelap dan rasa pahit yang khas jamu. Sayangnya, karakteristik “alami” ini tidak cukup untuk menjamin keamanan atau kemurnian produk. Hanya melalui pengujian laboratorium seperti KLT inilah kandungan sesungguhnya bisa diketahui.

Penelitian ini menyoroti tantangan besar dalam pengawasan produk jamu di pasar tradisional. Banyaknya produsen nakal yang mencampur jamu dengan BKO demi efek cepat bisa merusak kepercayaan masyarakat terhadap obat tradisional, serta membahayakan konsumen secara langsung.

Dwibara menekankan pentingnya langkah lanjut berupa pengujian kuantitatif dengan metode spektrofotometri untuk menentukan kadar natrium diklofenak dalam jamu yang diuji. Dengan demikian, risiko terhadap konsumen bisa lebih dihitung dan ditindak secara regulatif oleh otoritas seperti BPOM.

Lebih lanjut, ia juga mengusulkan agar pemerintah memperkuat pengawasan pascapemasaran (post marketing surveillance) dan memperketat izin edar jamu, terutama yang dijual tanpa nomor registrasi resmi atau label komposisi yang jelas.

Masyarakat diminta untuk lebih bijak dalam memilih produk jamu. Keampuhan instan bukanlah jaminan aman, apalagi jika tidak diketahui secara pasti komposisi bahan yang terkandung. Disarankan untuk hanya mengonsumsi jamu yang sudah terdaftar resmi di BPOM, atau yang diproduksi oleh industri jamu terpercaya.

Penelitian ini menjadi bukti nyata bahwa masih ada pekerjaan rumah besar dalam upaya menjamin keamanan produk herbal di Indonesia. Kombinasi antara edukasi konsumen, penegakan hukum yang tegas, dan riset yang berkelanjutan akan menjadi kunci untuk menjaga warisan jamu tetap lestari dan aman dikonsumsi. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut