Magelang, 07 Agustus 2025 – Dalam era pendidikan modern yang semakin menekankan pada capaian akademik dan pembentukan karakter, pertanyaan besar muncul: faktor apa saja yang benar-benar memengaruhi prestasi belajar siswa? Sebuah penelitian menarik dilakukan oleh Edi Chamsin, mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Magelang, mencoba menjawab pertanyaan ini melalui pendekatan yang jarang disentuh: keterkaitan antara religiusitas, modal psikologis, dan kinerja akademik siswa.
Penelitian ini dilaksanakan di dua sekolah menengah atas dengan karakteristik yang berbeda, yakni SMA Muhammadiyah 1 Muntilan yang dikenal kuat dengan aktivitas keagamaannya, dan SMA Negeri 1 Muntilan yang unggul dalam pencapaian akademik serta non-akademik. Tesis ini tidak hanya mengamati perbedaan latar belakang institusi, tetapi juga berusaha menggali secara mendalam bagaimana religiusitas dan kekuatan psikologis siswa, seperti efikasi diri dan resiliensi, berdampak terhadap performa akademik mereka.
Menjembatani Nilai Spiritual dan Psikologi dengan Prestasi
Terdapat tiga tujuan utama dalam penelitian ini: pertama, menilai tingkat religiusitas siswa di kedua sekolah; kedua, mengukur tingkat modal psikologis yang dimiliki siswa; dan ketiga, mengetahui seberapa besar pengaruh kedua faktor tersebut terhadap kinerja akademik siswa, baik secara langsung maupun tidak langsung.
Religiusitas di sini diartikan sebagai keterlibatan siswa dalam kegiatan spiritual seperti sholat, tadarus, dan kepatuhan terhadap nilai-nilai agama dalam kehidupan sehari-hari. Sementara itu, modal psikologis mencakup empat dimensi utama: efikasi diri (keyakinan untuk mampu menghadapi tantangan akademik), harapan (hope), optimisme, dan resiliensi (kemampuan bangkit dari kegagalan).
Religiusitas Berpengaruh Langsung, Psikologis Lebih Kuat
Salah satu temuan utama yang menarik perhatian adalah besarnya pengaruh modal psikologis terhadap kinerja akademik siswa. Berdasarkan hasil analisis statistik, pengaruh langsung modal psikologis terhadap prestasi akademik (X2-Y) memiliki koefisien beta sebesar 0,438. Ini berarti, semakin tinggi tingkat efikasi diri dan resiliensi siswa, maka semakin baik pula performa akademik mereka.
Sementara itu, pengaruh langsung religiusitas terhadap kinerja akademik (X1-Y) berada pada angka 0,384. Artinya, keterlibatan dalam kegiatan spiritual dan kedalaman keyakinan keagamaan juga memiliki kontribusi positif yang cukup kuat terhadap pencapaian belajar siswa.
Namun yang mengejutkan adalah hasil pengaruh tidak langsung religiusitas melalui modal psikologis terhadap prestasi akademik (X1-X2-Y) yang hanya sebesar 0,188. Artinya, ketika religiusitas dimediasi oleh modal psikologis, pengaruhnya terhadap prestasi akademik menjadi lebih kecil dibandingkan pengaruh langsung religiusitas itu sendiri. Ini mengindikasikan bahwa meskipun spiritualitas penting, namun tidak secara otomatis membentuk kekuatan psikologis siswa yang mampu mendorong mereka berprestasi, kecuali jika didukung oleh penguatan dalam aspek psikologis secara terpisah.
Penelitian ini menyiratkan bahwa penguatan nilai-nilai religius saja belum cukup untuk mendongkrak performa akademik siswa secara maksimal. Sekolah dan orang tua juga perlu membangun modal psikologis siswa melalui program-program pengembangan kepercayaan diri, pelatihan manajemen stres, hingga teknik berpikir positif.
Di SMA Muhammadiyah 1 Muntilan, misalnya, meskipun terdapat banyak aktivitas keagamaan harian dan berkala seperti tadarus, sholat dhuha, hingga pengajian kelas, jika tidak disertai penguatan psikologis seperti pelatihan motivasi dan bimbingan konseling yang tepat, dampaknya terhadap akademik bisa kurang optimal. Sebaliknya, di SMA Negeri 1 Muntilan, yang unggul dalam prestasi akademik dan lebih sedikit aktivitas religius formal, siswa tampaknya telah mengembangkan modal psikologis yang kuat secara alami ataupun lewat pembinaan yang sistematis.
Akhirnya, tesis ini menawarkan wawasan penting bagi dunia pendidikan: pendekatan spiritual dan psikologis tidak boleh berjalan sendiri-sendiri. Religiusitas memberikan arah moral dan nilai, sementara modal psikologis memberi daya dorong dan kekuatan menghadapi tantangan. Keduanya jika dikembangkan secara paralel, dapat menciptakan generasi muda yang tidak hanya cerdas secara intelektual, tetapi juga matang secara emosional dan spiritual.
Penelitian ini diharapkan menjadi referensi penting bagi para pendidik, pembuat kebijakan pendidikan, hingga orang tua dalam merancang sistem pembinaan siswa yang utuh — mencakup hati, pikiran, dan perbuatan. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA