Magelang, 07 Agustus 2025 – Dalam dunia pendidikan, guru tak sekadar pengajar di ruang kelas. Mereka adalah arsitek karakter dan agen perubahan sosial. Namun, di balik profesi mulia itu, berbagai tantangan datang silih berganti: tekanan pekerjaan, tuntutan kompetensi, dan dinamika hubungan kerja. Maka, apa yang membuat seorang guru tetap berdedikasi tinggi dan berprestasi dalam menjalankan tugasnya?
Titi Fibrilianthi Carolina, mahasiswa Magister Manajemen Pendidikan Islam Universitas Muhammadiyah Magelang, mencoba menjawab pertanyaan tersebut melalui penelitian mendalam di Yayasan Tarbiyatul Mukmin Pabelan. Tesisnya, yang berjudul “Pengaruh Spiritualitas, Religiusitas, dan Resiliensi terhadap Kinerja Guru”, menggali bagaimana dimensi batin dan daya lenting pribadi guru berkontribusi pada kualitas kerja mereka.
Penelitian ini melibatkan 103 guru dari tiga unit sekolah di bawah yayasan tersebut—SMPIT, SMAIT, dan SMKIT Ihsanul Fikri—dengan pendekatan kuantitatif korelasional. Melalui kuesioner yang dibagikan via Google Form dan dianalisis menggunakan regresi linier berganda serta analisis jalur, Titi menguji hubungan antara tiga variabel psikologis dan spiritual: spiritualitas, religiusitas, dan resiliensi, terhadap satu variabel utama: kinerja guru.
Tujuan utama penelitian ini adalah menelusuri apakah nilai-nilai spiritual dan religius yang secara rutin ditanamkan di lingkungan yayasan dapat berdampak nyata pada produktivitas guru. Yayasan Tarbiyatul Mukmin Pabelan sendiri dikenal sebagai lembaga yang menanamkan nilai-nilai keislaman secara intensif kepada guru-gurunya, mulai dari shalat berjamaah, membaca Al-Qur’an harian, hingga aktivitas religius lainnya. Namun, benarkah kegiatan ini mampu mendorong performa guru secara signifikan?
Kombinasi Spiritualitas dan Resiliensi Punya Daya Dorong Tinggi
Hasilnya cukup mencengangkan sekaligus menggugah. Spiritualitas ternyata memang memiliki pengaruh signifikan terhadap kinerja guru, baik secara langsung maupun tidak langsung melalui resiliensi. Secara langsung, pengaruh spiritualitas terhadap resiliensi tercatat sebesar 0,170, sementara pengaruh tidak langsung melalui resiliensi terhadap kinerja mencapai 0,245. Artinya, guru yang memiliki kehidupan spiritual yang kuat cenderung memiliki daya tahan psikologis yang lebih besar dalam menghadapi tantangan, dan pada akhirnya menunjukkan performa kerja yang lebih baik.
Sementara itu, religiusitas—yang dalam konteks ini diukur dari dimensi seperti keyakinan, ibadah, pengalaman religius, serta pengetahuan dan pengamalan ajaran agama—juga berpengaruh signifikan. Nilai pengaruh langsung religiusitas terhadap resiliensi mencapai 0,493, sedangkan pengaruh tidak langsung melalui resiliensi terhadap kinerja adalah sebesar 0,51. Bahkan, variabel religiusitas dan resiliensi bersama-sama menjelaskan kinerja guru hingga 53,4%, sebuah angka yang cukup tinggi.
Adapun variabel spiritualitas dan resiliensi secara simultan menyumbang sebesar 45,5% terhadap variasi kinerja guru. Sisanya dijelaskan oleh variabel lain di luar cakupan studi ini, seperti kepemimpinan, sarana prasarana, atau faktor sosial-ekonomi.
Dengan kata lain, dua pilar batiniah—spiritualitas dan religiusitas—tidak cukup jika berdiri sendiri. Keduanya memerlukan jembatan psikologis berupa resiliensi untuk benar-benar mempengaruhi kinerja guru secara nyata.
Makna Lebih Dalam dari Temuan Ini
Penelitian ini membawa pesan yang penting dalam pengelolaan sumber daya manusia di lingkungan pendidikan, khususnya lembaga berbasis nilai-nilai keislaman. Dalam banyak organisasi, peningkatan kinerja sering diupayakan melalui pelatihan keterampilan teknis, pengawasan, atau insentif finansial. Namun, Titi membuktikan bahwa membangun kekuatan batin para guru justru bisa menjadi strategi yang tak kalah efektif.
Guru yang memiliki kedalaman spiritual bukan hanya lebih tahan banting secara psikologis, tapi juga lebih sadar akan misi pendidikan sebagai pengabdian, bukan sekadar profesi. Dalam situasi tekanan atau konflik, mereka cenderung bertahan, menyesuaikan diri, dan tetap menjalankan tugas dengan integritas. Di sinilah resiliensi menjadi variabel kunci: sebuah kemampuan untuk “bangkit kembali” secara mental dan emosional, yang tumbuh dari akar spiritualitas dan religiusitas yang kuat.
Sebagai bagian dari rekomendasi, penelitian ini menyarankan agar yayasan pendidikan tidak hanya fokus pada aspek teknis pengajaran, tetapi juga memperkuat program-program pembinaan batin dan psikologis guru. Spiritualitas dan religiusitas perlu dirawat tidak sekadar dalam bentuk kegiatan seremonial, tetapi juga melalui pendampingan, konseling, dan pembelajaran makna hidup yang lebih dalam. Lebih dari itu, resiliensi perlu dilatih secara sistematis—misalnya melalui pelatihan coping strategy, emotional intelligence, atau dukungan sosial di tempat kerja.
Tesis Titi Fibrilianthi Carolina mengajarkan bahwa kinerja guru bukan semata soal keterampilan mengajar, tetapi tentang bagaimana mereka memaknai peran mereka di hadapan Tuhan dan umat. Dalam dunia pendidikan modern yang makin kompleks, pendekatan berbasis nilai semacam ini menjadi oase yang menyejukkan dan, seperti dibuktikan oleh riset ini, juga sangat efektif.