Kejahatan Klitih Menghantui Kota Magelang: Upaya Nyata Kepolisian Menjawab Keresahan Masyarakat
7 August 2025

mimin

Magelang, 07 Agustus 2025 — Fenomena kejahatan jalanan yang dikenal dengan sebutan “klitih” bukan lagi isu eksklusif di Daerah Istimewa Yogyakarta. Kini, Kota Magelang turut merasakan dampaknya. Kejahatan yang identik dengan kekerasan remaja ini, bahkan dilakukan secara berkelompok dan bersenjata tajam, semakin meresahkan masyarakat. Tak hanya menimbulkan rasa takut di ruang publik, fenomena ini juga membuka tabir rapuhnya pengawasan terhadap generasi muda.

Sebuah penelitian terkini yang dilakukan oleh Tri Yuli Anisa Dewi dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang mengupas tuntas permasalahan ini dalam skripsinya berjudul Upaya Penanggulangan Kejahatan Jalanan Klitih oleh Polres Magelang Kota.” Penelitian ini bukan sekadar laporan akademik, melainkan cerminan dari kekhawatiran nyata yang tumbuh di tengah masyarakat atas maraknya aksi klitih yang dilakukan oleh remaja.

Menurut peneliti, tujuan utama dari kajian ini adalah untuk melihat angka kejahatan yang dilakukan oleh anak-anak (remaja) pada periode 2021 hingga 2023, serta untuk mengidentifikasi hambatan dan mencari solusi atas penanggulangan kejahatan tersebut oleh kepolisian.

Dari data yang dikumpulkan langsung dari Unit Reskrim Polres Magelang Kota, ditemukan bahwa angka kejahatan dengan pelaku anak-anak cenderung meningkat dalam tiga tahun terakhir. Selama 2021–2023, tercatat 68 kasus dengan pelaku anak, didominasi oleh tindak kekerasan seperti pengeroyokan (22 kasus), tawuran (19 kasus), serta penyalahgunaan senjata tajam (11 kasus). Kasus-kasus ini kerap terjadi di malam hari di jalanan sepi, dan korban sering kali merupakan masyarakat umum yang tidak mengenal para pelaku.

Penelitian ini menunjukkan bahwa klitih bukan sekadar bentuk kenakalan remaja, melainkan sudah masuk dalam ranah tindak pidana. Yang lebih mengkhawatirkan, para pelaku mayoritas masih duduk di bangku sekolah dan kerap beraksi tanpa motif yang jelas selain menunjukkan eksistensi diri atau membalas dendam atas konflik antar kelompok.

Dalam menanggapi fenomena ini, Polres Magelang Kota sejauh ini telah melakukan berbagai langkah represif, seperti patroli rutin, razia senjata tajam, serta penindakan hukum kepada pelaku. Salah satu peristiwa yang menjadi sorotan adalah ketika 26 remaja ditangkap karena membawa senjata tajam. Dalam proses hukumnya, pendekatan restoratif digunakan. Para pelaku diminta untuk sungkem dan meminta maaf kepada orang tua mereka sebelum dikembalikan ke rumah masing-masing. Tangis haru dan penyesalan mewarnai prosesi tersebut, menunjukkan dampak emosional yang kuat tidak hanya kepada pelaku, tetapi juga keluarga mereka.

Namun, penelitian ini juga menyoroti bahwa pendekatan represif saja tidak cukup. Upaya preventif seperti edukasi, pembinaan karakter di sekolah, penyuluhan hukum, serta pelibatan masyarakat lewat program Bhabinkamtibmas, sangat diperlukan untuk menciptakan sistem pencegahan yang menyeluruh.

Salah satu temuan penting dalam penelitian ini adalah kurangnya upaya pre-emtif oleh aparat kepolisian. Selama ini, pendekatan kepolisian cenderung bersifat reaktif — menangani kasus setelah kejadian berlangsung. Padahal, menurut Anisa, penanganan klitih seharusnya dimulai dari pencegahan dini melalui edukasi dan pembentukan karakter anak, termasuk melibatkan orang tua, sekolah, serta lembaga keagamaan.

Faktor penyebab klitih pun tidak sederhana. Penelitian ini mencatat bahwa pengaruh media sosial, video game kekerasan, lemahnya pengawasan keluarga, dan lingkungan pergaulan yang tidak sehat menjadi pemicu utama. Anak-anak yang rentan cenderung mudah terpengaruh untuk mencari “pengakuan sosial” melalui aksi kriminal.

Data statistik kejahatan umum di Kota Magelang juga menunjukkan kecenderungan peningkatan. Tahun 2021 terdapat 106 kasus kejahatan, sedangkan pada 2022 sedikit menurun menjadi 78 kasus. Meski demikian, kasus klitih justru meningkat dalam intensitas dan kekerasannya.

Anisa menyimpulkan bahwa keberhasilan penanggulangan klitih membutuhkan kerja sama berbagai pihak, tidak hanya kepolisian. Ia menekankan pentingnya pendekatan terintegrasi antara pendekatan hukum (penegakan) dan pendekatan sosial (pencegahan dan pembinaan). Salah satu solusi yang ia tawarkan adalah meningkatkan kualitas dan intensitas patroli polisi, penguatan sistem pemantauan CCTV, serta pelatihan rutin kepada petugas untuk memahami dinamika psikologis remaja.

Penelitian ini pun memberi catatan penting bagi para pengambil kebijakan: bahwa kejahatan remaja bukan sekadar kesalahan individu, tetapi gejala sosial yang kompleks dan menuntut intervensi dari hulu ke hilir. Seperti disampaikan Anisa dalam penutup penelitiannya, “Klitih bukan hanya soal anak yang membawa senjata tajam, tapi tentang masyarakat yang abai pada tumbuh kembang generasinya.”

Melalui kajian hukum yang mendalam dan wawancara langsung dengan pihak kepolisian, skripsi ini tidak hanya memotret kondisi darurat sosial di Kota Magelang, tetapi juga mengusulkan langkah-langkah konkret untuk mengembalikan rasa aman di jalanan kota.

Dengan harapan bahwa penelitian ini dapat menjadi referensi kebijakan dan peringatan bagi semua pihak, kini tinggal menunggu, seberapa serius upaya kita dalam menyelamatkan generasi muda dari jalanan yang penuh bahaya. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut