Magelang, 11 Agustus 2025 – Pernikahan dini masih menjadi persoalan serius di berbagai daerah Indonesia, termasuk di Desa Banyuroto, Kecamatan Sawangan, Kabupaten Magelang. Desa yang terletak di kaki Gunung Merbabu ini memiliki jumlah penduduk sekitar 4.304 jiwa dengan mayoritas mata pencaharian sebagai petani dan pedagang sayur. Meski pemerintah telah menjalankan berbagai program penyuluhan, data menunjukkan rata-rata empat kasus pernikahan dini terjadi setiap tahun sejak 2010.
Penelitian yang dilakukan Dani, mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Magelang, berfokus pada faktor-faktor yang mempengaruhi pengambilan keputusan menikah dini di kalangan remaja desa tersebut. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan melibatkan empat narasumber: dua orang yang sudah menikah dini dan dua orang yang memilih menunda pernikahan. Tujuannya adalah mengeksplorasi proses pengambilan keputusan serta membandingkan pandangan antara remaja yang menikah muda dengan mereka yang menunda.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa keputusan menikah dini dipengaruhi oleh dua faktor utama. Pertama, keinginan pribadi atau rasa saling suka yang kuat antara pasangan. Beberapa remaja percaya pada janji pasangannya untuk membahagiakan mereka dan merasa yakin dengan hubungan tersebut meskipun usia masih muda. Kedua, kehamilan di luar nikah yang umumnya dipicu oleh pergaulan bebas dan kurangnya pengetahuan tentang pendidikan seksual. Dalam kasus ini, tekanan keluarga dan tuntutan norma sosial membuat pernikahan menjadi “jalan keluar” yang dianggap terbaik.
Sementara itu, bagi remaja yang memilih menunda pernikahan, terdapat alasan berbeda. Ada yang ingin mengejar cita-cita dan melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi, meyakini bahwa masa muda sebaiknya dihabiskan untuk belajar dan mempersiapkan masa depan. Faktor lainnya adalah keinginan untuk menyetabilkan kondisi ekonomi keluarga terlebih dahulu sebelum membentuk rumah tangga. Selain itu, ada rasa takut menghadapi risiko dalam pernikahan dini, seperti Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) dan masalah pengasuhan anak (parenting).
Penelitian ini juga menyoroti bagaimana budaya lokal mempengaruhi keputusan menikah. Di Banyuroto, masih ada pandangan bahwa jika seorang perempuan atau laki-laki belum menikah di usia tertentu, mereka akan dicap sebagai “perawan tua” atau “perjaka tua”. Anggapan ini mendorong orang tua untuk menikahkan anaknya meski usia mereka belum memenuhi syarat minimal yang diatur undang-undang.
Dampak dari pernikahan dini di desa ini cukup signifikan. Dari sisi ekonomi, pasangan muda sering belum mapan secara finansial, sehingga ketergantungan pada orang tua masih tinggi. Dari sisi sosial, risiko perceraian dan perselingkuhan meningkat akibat emosi yang belum stabil. Secara psikologis, remaja belum sepenuhnya siap menjalani peran sebagai suami atau istri, yang pada beberapa kasus berujung pada KDRT dan trauma.
Melalui temuan ini, penelitian merekomendasikan peningkatan literasi pendidikan, khususnya pendidikan seksual dan keterampilan hidup (life skills), serta dukungan bagi remaja untuk melanjutkan sekolah. Kesadaran kolektif masyarakat perlu dibangun agar tidak lagi memandang pernikahan dini sebagai hal yang wajar.
Penelitian ini memberikan kontribusi penting bagi upaya menekan angka pernikahan dini, khususnya di Desa Banyuroto, dengan memberikan gambaran nyata bagaimana keputusan itu diambil dan apa saja faktor yang mempengaruhinya. Harapannya, temuan ini dapat menjadi pijakan bagi pemerintah desa, sekolah, dan tokoh masyarakat dalam merumuskan strategi pencegahan yang lebih efektif. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA