Magelang, 11 Agustus 2025 – Di era digital, media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan remaja. TikTok, sebagai salah satu platform paling populer, menawarkan hiburan, kreativitas, dan interaksi global. Namun, di balik konten-konten yang menghibur, ada fenomena yang mulai mendapat perhatian serius: dampak penggunaan TikTok terhadap kesehatan mental remaja.
Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Rima Ayu Fitriyani, mahasiswa S1 Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Magelang, mengangkat isu ini secara khusus di Desa Kaliglagah, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah. Dengan jumlah remaja sekitar 179 jiwa, desa ini menjadi lokasi studi untuk memahami hubungan antara intensitas penggunaan TikTok dan gangguan mental emosional.
Masa remaja adalah fase kritis dalam perkembangan fisik, kognitif, sosial, dan emosional. Di tahap ini, remaja sangat rentan terhadap tekanan sosial, tuntutan akademik, serta pengaruh lingkungan, termasuk media sosial. Menurut data UNICEF, Indonesia memiliki sekitar 46 juta remaja, dan TikTok menjadi salah satu aplikasi yang paling banyak digunakan di kalangan usia muda.
Penelitian ini bertujuan untuk menjawab pertanyaan penting: Apakah ada hubungan signifikan antara penggunaan TikTok dengan gangguan mental emosional pada remaja? Gangguan mental emosional yang dimaksud mencakup gejala depresi, kecemasan, rasa minder, dan perubahan suasana hati yang dapat mengganggu aktivitas sehari-hari.
Penelitian ini menggunakan metode kuantitatif dengan desain cross sectional. Sebanyak 43 remaja dipilih sebagai sampel melalui teknik proportional random sampling. Data dikumpulkan menggunakan dua instrumen utama: kuesioner penggunaan TikTok dan Mood Disorder Questionnaire (MDQ) untuk mendeteksi indikasi gangguan mental emosional.
Analisis data dilakukan dengan uji Chi-Square untuk melihat hubungan antara dua variabel tersebut, serta menghitung koefisien korelasi guna mengetahui kekuatan hubungan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 72,1% responden (31 orang) termasuk dalam kategori pengguna TikTok intensif. Sementara itu, 67,4% responden (29 orang) terindikasi mengalami gangguan mental emosional.
Uji statistik mengungkapkan nilai p-value sebesar 0,035 (p < 0,05), yang berarti ada hubungan signifikan antara intensitas penggunaan TikTok dan gangguan mental emosional. Lebih jauh lagi, nilai koefisien korelasi r = 0,747 menunjukkan tingkat hubungan yang kuat.
Artinya, semakin intens remaja menggunakan TikTok, semakin tinggi pula kemungkinan mereka mengalami gangguan mental emosional. Gangguan ini tidak hanya sebatas stres ringan, tetapi juga meliputi gejala depresi seperti kehilangan minat, kesulitan tidur, rasa bersalah berlebihan, hingga munculnya perasaan minder akibat membandingkan diri dengan orang lain di media sosial.
Temuan ini memberi sinyal penting bagi orang tua, pendidik, dan pemerintah desa. Rima Ayu Fitriyani merekomendasikan agar remaja diberikan edukasi tentang penggunaan media sosial yang sehat, termasuk membatasi waktu bermain TikTok dan lebih selektif dalam mengonsumsi konten.
Bagi pemerintah desa, penelitian ini dapat menjadi dasar untuk membuat kebijakan atau program yang mengajak remaja beraktivitas positif di dunia nyata, mengurangi risiko isolasi sosial, serta meminimalisir paparan konten yang dapat memicu gangguan emosional.
TikTok memang menawarkan kreativitas dan hiburan tanpa batas, namun penggunaannya yang berlebihan dapat berdampak signifikan terhadap kesehatan mental remaja. Studi di Desa Kaliglagah ini membuktikan adanya korelasi yang kuat antara kedua hal tersebut. Di tengah derasnya arus digital, pendampingan dan edukasi menjadi kunci agar media sosial menjadi sarana pengembangan diri yang sehat, bukan sumber masalah emosional.
Seperti kata pepatah, teknologi ibarat pisau bermata dua: bermanfaat jika digunakan dengan bijak, namun bisa melukai jika dibiarkan tanpa kontrol. Penelitian ini menjadi pengingat bahwa keseimbangan antara dunia maya dan dunia nyata adalah investasi penting bagi masa depan generasi muda. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA