Magelang, 11 Agustus 2025 — Upaya pelestarian bahasa Jawa di tengah gempuran bahasa asing dan dominasi bahasa Indonesia di sekolah mendapat angin segar dari sebuah penelitian yang dilakukan di SD Negeri Ketawang 1, Kecamatan Grabag, Kabupaten Magelang. Penelitian ini membuktikan bahwa penerapan model pembelajaran role playing mampu meningkatkan keterampilan berbicara bahasa Jawa, khususnya ragam krama, pada siswa kelas IV.
Bahasa Jawa, sebagai salah satu warisan budaya tak ternilai bangsa Indonesia, kini menghadapi tantangan serius. Banyak siswa menganggap pelajaran ini kuno, kurang menarik, bahkan sulit, terutama dalam penggunaan ragam krama alus. Hasil observasi awal menunjukkan bahwa mayoritas siswa lebih sering menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa Jawa ragam ngoko, bahkan ketika berbicara dengan guru atau orang yang lebih tua. Hal ini mengakibatkan keterampilan berbahasa Jawa krama menjadi rendah, dan unggah-ungguh dalam berbahasa mulai tergerus.
Penelitian yang dilakukan oleh Fandy Febriyanto ini bertujuan untuk menguji secara ilmiah apakah model pembelajaran role playing dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap keterampilan berbicara bahasa Jawa siswa. Model ini dipilih karena menempatkan siswa sebagai pelaku aktif, bukan hanya penerima materi. Siswa diminta memerankan tokoh dalam skenario tertentu, sehingga mereka berlatih langsung menggunakan bahasa Jawa krama dalam konteks nyata.
Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi manfaat praktis bagi berbagai pihak. Bagi siswa, metode ini diharapkan dapat menumbuhkan kebiasaan menggunakan bahasa Jawa krama dalam kehidupan sehari-hari. Bagi guru, hasilnya bisa menjadi alternatif strategi pembelajaran. Sedangkan bagi sekolah, ini dapat menjadi bagian dari upaya meningkatkan kualitas pembelajaran muatan lokal.
Penelitian menggunakan desain Pre-Experimental tipe One Group Pretest-Posttest dengan 25 siswa sebagai sampel. Sebelum perlakuan, siswa menjalani pretest untuk mengukur keterampilan berbicara bahasa Jawa krama. Selanjutnya, pembelajaran dengan metode role playing diterapkan, di mana siswa dibagi dalam kelompok, mempelajari skenario, memerankan tokoh, dan berdiskusi. Setelah beberapa pertemuan, dilakukan posttest untuk mengukur perkembangan keterampilan.
Pengumpulan data dilakukan dengan penilaian unjuk kerja, dan analisis statistik memakai uji Shapiro-Wilk untuk normalitas, serta uji hipotesis Wilcoxon untuk mengetahui perbedaan skor sebelum dan sesudah perlakuan.
Hasil analisis menunjukkan perbedaan signifikan antara nilai pretest dan posttest. Nilai signifikansi sebesar 0,000 ≤ 0,05 mengindikasikan bahwa penerapan metode role playing memang berpengaruh terhadap peningkatan keterampilan berbicara bahasa Jawa krama siswa.
Secara praktis, siswa yang sebelumnya ragu dan sering keliru dalam memilih kosakata krama menjadi lebih percaya diri dan tepat dalam penggunaannya. Mereka juga lebih memahami intonasi, pelafalan, dan tata bahasa krama. Aktivitas bermain peran membuat pembelajaran menjadi menyenangkan, mendorong partisipasi aktif, serta mengasah kemampuan bekerja sama dan berkomunikasi.
Penelitian ini memberikan pesan penting bahwa pelestarian bahasa daerah tidak cukup hanya dengan memasukkannya ke dalam kurikulum. Diperlukan inovasi metode pembelajaran yang menghidupkan bahasa tersebut dalam praktik sehari-hari siswa. Role playing terbukti menjadi salah satu cara efektif, karena siswa tidak hanya menghafal kosakata atau kaidah tata bahasa, tetapi juga menggunakannya secara langsung dalam konteks sosial yang nyata.
Temuan ini juga menjadi sinyal bagi para pendidik untuk lebih kreatif dalam mengajar bahasa daerah. Ketika siswa merasakan manfaat langsung dari bahasa yang mereka pelajari, motivasi belajar meningkat, dan nilai-nilai budaya yang terkandung di dalamnya lebih mudah tertanam.
Fandy Febriyanto menyimpulkan bahwa model pembelajaran role playing layak direkomendasikan sebagai strategi mengajarkan bahasa Jawa, khususnya ragam krama, di tingkat sekolah dasar. Metode ini bukan hanya meningkatkan keterampilan berbicara, tetapi juga menumbuhkan rasa bangga dan kepedulian terhadap bahasa daerah sebagai identitas budaya.
Di tengah ancaman punahnya bahasa daerah akibat perkembangan teknologi dan globalisasi, hasil penelitian ini menjadi kabar baik. Pembelajaran yang interaktif, menyenangkan, dan relevan dengan kehidupan sehari-hari terbukti mampu membangkitkan minat siswa untuk kembali menggunakan bahasa Jawa dengan baik dan benar. Jika diterapkan secara luas, bukan tidak mungkin bahasa Jawa akan tetap hidup dan berkembang di generasi mendatang. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA