Magelang, 12 Agustus 2025 – Masalah kurangnya rasa percaya diri di kalangan siswa sekolah dasar menjadi perhatian serius para pendidik. Fenomena ini terlihat di berbagai sekolah, termasuk di SD Islam Al Iman, Kota Magelang. Banyak siswa enggan mengungkapkan pendapat, ragu berbicara, hingga malu bertanya saat pelajaran berlangsung. Penelitian terbaru yang dilakukan Meylia Hindarwati dari Universitas Muhammadiyah Magelang menawarkan pendekatan segar untuk mengatasi masalah ini: model pembelajaran role playing berbantuan media topeng.
Menurut Meylia, rasa percaya diri adalah modal penting bagi anak untuk berkembang, baik secara akademis maupun sosial. “Siswa yang percaya diri lebih berani mengekspresikan diri, mencoba hal baru, dan mengatasi kegagalan,” ungkapnya. Namun, hasil observasi di kelas V SD Islam Al Iman menunjukkan fakta sebaliknya: banyak siswa tidak yakin pada kemampuannya sendiri, terlalu bergantung pada teman, dan takut melakukan kesalahan di depan umum.
Penelitian ini bertujuan menguji apakah penggunaan metode role playing—di mana siswa memerankan tokoh tertentu—dengan tambahan media topeng dapat memberikan pengaruh signifikan terhadap peningkatan kepercayaan diri. Ide dasarnya sederhana namun kreatif: dengan memakai topeng, siswa merasa “terlindungi” secara psikologis, sehingga lebih bebas berekspresi tanpa takut dihakimi.
Meylia menggunakan desain Quasi Experimental dengan tipe Nonequivalent Control Group Design. Penelitian melibatkan 28 siswa kelas V, dibagi menjadi kelompok eksperimen dan kontrol. Kelompok eksperimen mengikuti pembelajaran role playing dengan media topeng, sedangkan kelompok kontrol belajar tanpa metode tersebut.
Pengumpulan data dilakukan melalui angket dan observasi kepercayaan diri. Instrumen diuji validitas dan reliabilitasnya, lalu data dianalisis menggunakan uji Independent Sample T-Test dengan perangkat lunak SPSS versi 29.
Hasil penelitian menunjukkan adanya perbedaan signifikan antara kepercayaan diri siswa di kelas eksperimen sebelum dan sesudah perlakuan. Nilai signifikansi yang diperoleh adalah 0,001, jauh di bawah ambang 0,05. Ini berarti, model role playing berbantuan media topeng memang efektif meningkatkan kepercayaan diri siswa.
Meylia mencatat, siswa yang awalnya pasif mulai berani tampil dan berbicara di depan kelas. Bahkan, beberapa siswa yang terkenal pendiam mulai menunjukkan inisiatif untuk menjadi ketua kelompok atau mengajukan pertanyaan. Topeng berperan penting dalam menciptakan “zona aman” bagi siswa, memudahkan mereka menghayati peran dan mengurangi rasa canggung.
Mengapa Topeng?
Dalam budaya, topeng bukan sekadar aksesori. Ia punya fungsi simbolis—melindungi, menyamarkan, dan memberi kekuatan pada pemakainya. Dalam konteks pendidikan, topeng membantu siswa memisahkan “diri pribadi” dari “peran” yang dimainkan, sehingga mereka lebih berani mencoba. Penelitian ini membuktikan bahwa unsur seni dan kreativitas dapat berpadu dengan strategi pembelajaran untuk menghasilkan dampak psikologis positif.
Temuan ini menjadi masukan penting bagi guru, khususnya di jenjang sekolah dasar. Pertama, metode role playing dengan media topeng dapat menjadi alternatif inovatif untuk membangun rasa percaya diri siswa. Kedua, strategi ini sejalan dengan pendidikan karakter, terutama aspek keberanian dan keterbukaan. Ketiga, pendekatan kreatif ini membantu menciptakan suasana belajar yang menyenangkan, interaktif, dan kolaboratif.
Bagi sekolah, penerapan metode ini juga mendukung peningkatan mutu pendidikan. Kepala sekolah dapat mendorong guru untuk lebih kreatif dalam memilih media pembelajaran, sementara orang tua dapat memperkuat kepercayaan diri anak di rumah dengan memberi dukungan positif.
Penelitian Meylia Hindarwati membuktikan bahwa role playing berbantuan media topeng bukan sekadar permainan di kelas, tetapi metode pembelajaran yang efektif untuk membangun kepercayaan diri siswa. Dengan pendekatan ini, siswa bukan hanya belajar materi pelajaran, tetapi juga belajar menjadi individu yang berani, percaya diri, dan siap menghadapi tantangan.
Di tengah kebutuhan akan generasi muda yang mampu bersuara dan mengambil inisiatif, inovasi seperti ini layak mendapat perhatian dan diterapkan lebih luas di sekolah-sekolah Indonesia. (ed. Sulistya NG)
Sumber : repositori UNIMMA