Magelang, 12 Agustus 2025 – Di tengah maraknya kasus penyalahgunaan narkotika di kalangan remaja, sebuah putusan di Pengadilan Negeri Magelang menjadi sorotan karena mengedepankan pendekatan diversi demi masa depan anak. Studi yang dilakukan Afriliya Isnaeni dari Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang mengupas tuntas alasan hakim mengambil jalur ini dalam perkara Nomor 04/Pid.Sus-Anak/2019/PN.Mgg, meskipun ancaman hukumnya secara formil tergolong berat.
Penelitian ini berangkat dari keprihatinan terhadap fenomena penyalahgunaan narkotika di kalangan anak, yang tak jarang berujung pada hukuman penjara. Padahal, menurut Undang-Undang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU No. 11 Tahun 2012), prinsip kepentingan terbaik bagi anak harus selalu menjadi pertimbangan utama. Diversi—pengalihan penyelesaian perkara dari jalur peradilan pidana ke mekanisme non-formal—dianggap mampu menghindarkan anak dari stigma negatif, prisonisasi, hingga trauma psikologis yang bisa menghambat tumbuh kembang mereka.
Tujuan penelitian ini jelas: pertama, untuk mengkaji pertimbangan hakim dalam menerapkan diversi pada kasus anak penyalahguna narkotika di Magelang; kedua, untuk menemukan bentuk sanksi hukum terbaik yang sesuai dengan prinsip perlindungan anak. Dengan menggunakan metode normatif-empiris dan mengacu pada UU Narkotika serta UU SPPA, Afriliya juga mewawancarai Wakil Ketua Pengadilan Negeri Magelang guna memperkuat analisis.
Hasil penelitian menunjukkan, hakim mempertimbangkan dua hal pokok dalam memutus diversi. Pertama, prinsip kepentingan terbaik bagi anak yang selaras dengan semangat keadilan restoratif. Kedua, terpenuhinya syarat materiil dan formil untuk pelaksanaan diversi sesuai ketentuan perundang-undangan. Meskipun dakwaan jaksa memuat pasal dengan ancaman 12 tahun penjara, hakim memilih mengedepankan pemulihan sosial dan rehabilitasi ketimbang hukuman penjara.
Sanksi yang dipandang paling tepat adalah tindakan rehabilitasi—baik medis maupun sosial—sebagaimana diatur dalam Pasal 54 UU No. 35 Tahun 2009 tentang Narkotika. Pendekatan ini diharapkan tidak hanya memulihkan kondisi anak dari ketergantungan, tetapi juga memutus mata rantai keterlibatan mereka dalam jaringan peredaran narkoba.
Afriliya menekankan bahwa diversi tidak berarti membebaskan anak dari tanggung jawab hukum, tetapi memindahkan prosesnya ke jalur yang lebih mendidik dan membina. Proses ini melibatkan musyawarah antara anak, orang tua, pembimbing kemasyarakatan, pekerja sosial, penasihat hukum, serta pihak terkait lainnya. Hasil kesepakatan dapat berupa pengembalian anak kepada orang tua, pendidikan di LPKS, atau pelayanan masyarakat—semuanya dirancang untuk memperbaiki perilaku dan mengembalikan anak ke jalur yang benar.
Penelitian ini juga mengungkap tantangan dalam penerapan diversi, termasuk perbedaan persepsi antarpenegak hukum, keterbatasan fasilitas ramah anak, dan pandangan masyarakat yang masih menganggap setiap pelaku kejahatan harus dihukum penjara. Meski demikian, hakim di kasus ini membuktikan bahwa pendekatan restoratif bisa berjalan efektif jika ada komitmen dan koordinasi lintas pihak.
Dengan temuan ini, Afriliya berharap aparat penegak hukum lebih bijak dalam menangani perkara anak, khususnya kasus narkotika. Diversi dinilai bukan sekadar opsi hukum, tetapi sebuah strategi perlindungan masa depan generasi muda. “Memulihkan lebih baik daripada menghukum” menjadi pesan kuat yang ingin disampaikan penelitian ini—pesan yang relevan di tengah upaya bersama memerangi narkotika tanpa mengorbankan hak-hak anak. (ed. Sulistya NG)
Sumber : repositori UNIMMA