Borobudur dan Tantangan Wisata Inklusif: Implementasi Perda Disabilitas Belum Optimal
13 August 2025

mimin

Magelang, 13 Agustus 2025 — Penyandang disabilitas memiliki hak yang sama untuk berwisata sebagaimana warga negara lainnya. Untuk mewujudkan hal itu, Pemerintah Kabupaten Magelang telah menerbitkan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan, dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas. Aturan ini mewajibkan penyediaan fasilitas dan layanan pariwisata yang mudah diakses, termasuk informasi dalam format audio, visual, dan taktil, serta pemandu wisata yang memahami bahasa isyarat maupun teknik bantuan mobilitas.

Namun, hasil penelitian yang dilakukan Andy Lesmana, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, mengungkap bahwa implementasi perda ini di destinasi wisata Kecamatan Borobudur masih jauh dari harapan. Penelitian berjudul Implementasi Perda Kabupaten Magelang Nomor 1 Tahun 2021 Tentang Pelaksanaan Penghormatan, Perlindungan dan Pemenuhan Hak Penyandang Disabilitas (Studi Kasus: Obyek Wisata Borobudur) tersebut menggunakan metode yuridis empiris dengan pendekatan sosiologi hukum.

Tujuan penelitian ini adalah untuk menilai sejauh mana peraturan daerah tersebut telah diterapkan di lapangan, khususnya di obyek wisata seperti Punthuk Setumbu, Bukit Rhema, dan Bukit Barede, serta untuk mengidentifikasi hambatan yang dihadapi pengelola wisata dalam memenuhi hak-hak pengunjung penyandang disabilitas.

Dari hasil pengamatan dan wawancara dengan pengelola wisata serta pihak Dinas Sosial Kabupaten Magelang, ditemukan bahwa tingkat aksesibilitas di ketiga lokasi masih rendah. Punthuk Setumbu, misalnya, belum memiliki toilet khusus disabilitas maupun jalur landai yang memadai hingga puncak. Bukit Rhema memang sudah menyediakan kursi roda dan informasi dalam bentuk audio, namun keterbatasan infrastruktur tangga membuat kursi roda hanya bisa digunakan di area tertentu. Sementara itu, Bukit Barede nyaris belum memiliki fasilitas ramah disabilitas, dan kondisi medan yang menanjak membuat akses semakin sulit.

Kendala utama yang diidentifikasi adalah minimnya anggaran. Baik pengelola wisata desa (BUMDes) seperti Punthuk Setumbu dan Bukit Barede maupun pengelola swasta seperti Bukit Rhema, mengaku belum menerima dukungan dana yang memadai dari pemerintah daerah untuk membangun fasilitas khusus penyandang disabilitas. Bahkan, beberapa inisiatif seperti pembelian kursi roda di Bukit Rhema dilakukan secara mandiri oleh pihak pengelola tanpa bantuan pemerintah.

Selain dana, kurangnya pelatihan sumber daya manusia juga menjadi hambatan. Banyak karyawan obyek wisata belum mendapat pelatihan khusus dalam melayani pengunjung disabilitas, seperti mendeskripsikan daya tarik wisata untuk pengunjung tunanetra atau berkomunikasi dengan bahasa isyarat untuk tunarungu. Di Punthuk Setumbu, misalnya, jika ada pengunjung tunadaksa yang ingin mencapai puncak, petugas biasanya hanya bisa membantu secara manual dengan menggotongnya.

Meskipun demikian, penelitian ini juga menemukan beberapa praktik positif. Pengelola Bukit Rhema memiliki kebijakan tiket gratis untuk pengunjung berusia di atas 70 tahun sebagai bentuk apresiasi, serta menyiapkan pemandu lepas untuk membantu wisatawan disabilitas. Dinas Sosial Kabupaten Magelang juga berupaya membangun komunikasi dengan komunitas penyandang disabilitas melalui forum diskusi dan pembentukan tim pemenuhan hak disabilitas yang melibatkan Dinas Pariwisata.

Namun, langkah-langkah ini dinilai masih belum cukup untuk memenuhi amanat Perda Nomor 1 Tahun 2021. Data dari Dinas Sosial menunjukkan jumlah penyandang disabilitas di Kabupaten Magelang cukup tinggi, dengan ribuan warga yang tergolong tunadaksa, tunanetra, tunarungu, dan disabilitas mental. Tingginya angka ini semestinya menjadi dorongan kuat bagi pemerintah daerah untuk lebih serius menggarap fasilitas wisata yang inklusif.

Kesimpulan penelitian menegaskan bahwa implementasi Perda belum berjalan optimal. Hambatan terbesar adalah keterbatasan anggaran pembangunan fasilitas ramah disabilitas dan kurangnya pelatihan bagi sumber daya manusia. Peneliti merekomendasikan peningkatan alokasi dana khusus untuk fasilitas disabilitas, penyelenggaraan pelatihan rutin bagi pengelola wisata, serta monitoring berkala oleh pemerintah daerah untuk memastikan fasilitas yang sudah ada berfungsi dengan baik.

Bagi penyandang disabilitas, wisata bukan sekadar hiburan, tetapi juga sarana untuk berinteraksi sosial dan menikmati hak yang dijamin undang-undang. Jika fasilitas inklusif tersedia dengan baik, destinasi wisata seperti Borobudur tidak hanya akan menjadi ikon budaya, tetapi juga simbol kesetaraan dan penghormatan terhadap keberagaman manusia.

Penelitian ini menjadi pengingat bahwa keberhasilan pariwisata tidak hanya diukur dari jumlah kunjungan, tetapi juga dari sejauh mana destinasi tersebut dapat diakses dan dinikmati oleh semua orang, tanpa terkecuali. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut