Magelang, 22 Agustus 2025 – Isnanto Hendra Purnama, mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Universitas Muhammadiyah Magelang, menghadirkan sebuah penelitian penting tentang faktor yang memengaruhi keterbukaan status HIV positif terhadap perubahan perilaku seksual berisiko. Penelitian ini ia lakukan dalam bentuk literature review sebagai bagian dari tugas akhir untuk meraih gelar Sarjana Keperawatan.
Dalam penelitiannya, Isnanto menyoroti realitas yang kerap terjadi di masyarakat: keterbukaan Orang dengan HIV/AIDS (ODHA) masih menjadi persoalan rumit. Meski pemerintah bersama berbagai lembaga kesehatan telah berupaya menekan angka penyebaran HIV, banyak ODHA yang memilih menutup diri. Faktor utama penyebabnya adalah stigma, diskriminasi, hingga ketakutan akan penolakan dari lingkungan sekitar.
Padahal, keterbukaan status HIV memegang peran krusial dalam upaya pencegahan penularan. Isnanto mengutip sejumlah penelitian yang menunjukkan bahwa ODHA yang terbuka mengenai statusnya cenderung lebih patuh terhadap tindakan pencegahan, seperti penggunaan kondom, kesetiaan pada pasangan, hingga menghindari praktik berisiko lain. Sebaliknya, mereka yang menutup diri justru lebih berpotensi menularkan virus tanpa disadari.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang memengaruhi keputusan ODHA dalam mengungkapkan status HIV-nya, sekaligus melihat kaitannya dengan perubahan perilaku seksual berisiko. Isnanto menggunakan lima artikel ilmiah yang relevan, dengan sumber data berasal dari jurnal internasional bereputasi yang terbit dalam kurun waktu lima tahun terakhir.
Hasil kajian Isnanto mengungkap beberapa temuan menarik. Pertama, penelitian menunjukkan bahwa keterbukaan status HIV berhubungan signifikan dengan perubahan perilaku seksual. ODHA yang bersedia terbuka kepada pasangan seksualnya cenderung melakukan tindakan pencegahan penularan. Salah satu studi di Eropa, misalnya, menemukan bahwa sekitar 54 persen responden bersedia mengungkapkan status HIV kepada pasangan tetapnya. Sebaliknya, pada pasangan tidak tetap, angka keterbukaan menurun drastis menjadi hanya 17 persen.
Faktor lain yang memengaruhi keterbukaan adalah tingkat pendidikan, usia, serta status sosial. Responden dengan pendidikan lebih tinggi memiliki kecenderungan lebih besar untuk terbuka. Selain itu, mereka yang telah lama mengetahui status HIV juga lebih siap mengungkapkan kondisinya dibanding mereka yang baru terdiagnosis.
Menariknya, penelitian Isnanto juga menyoroti kelompok Lelaki Seks dengan Lelaki (LSL) yang memiliki risiko tinggi. Studi di Batam menunjukkan bahwa LSL HIV positif dengan tingkat keterbukaan rendah memiliki peluang 2,5 kali lebih besar untuk tetap melakukan perilaku seksual berisiko dibandingkan mereka yang terbuka. Selain itu, pola komunikasi interpersonal turut memegang peranan penting. ODHA yang berkomunikasi terbuka dengan pasangan cenderung memiliki perilaku seksual lebih aman dibanding yang cenderung menutup diri.
Faktor psikologis pun tidak bisa diabaikan. ODHA kerap menghadapi dilema emosional ketika harus memutuskan untuk jujur mengenai status kesehatannya. Rasa takut ditolak keluarga, pasangan, maupun lingkungan menjadi tembok besar yang menghalangi keterbukaan. Namun penelitian menunjukkan bahwa ketika ODHA mendapatkan dukungan emosional, misalnya melalui konseling atau intervensi pengambilan keputusan, mereka menjadi lebih berani untuk berbagi kondisi sebenarnya. Hal ini bukan hanya meningkatkan kesejahteraan psikologis, tetapi juga mengurangi perilaku seksual yang berisiko.
Isnanto menegaskan, hasil literature review ini memberi pesan penting bagi masyarakat maupun praktisi kesehatan. Pertama, keterbukaan status HIV bukan hanya persoalan individu, melainkan strategi penting dalam memutus rantai penularan virus. Kedua, dukungan lingkungan, mulai dari tenaga kesehatan, keluarga, hingga komunitas, sangat berpengaruh terhadap keberanian ODHA untuk jujur. Ketiga, menghapus stigma menjadi langkah mutlak agar ODHA tidak lagi merasa terisolasi.
Bagi dunia kesehatan, penelitian ini bisa menjadi rujukan untuk merancang pendekatan lebih humanis dalam layanan HIV/AIDS. Konseling yang mendorong keterbukaan, edukasi publik untuk mengikis diskriminasi, serta penguatan komunikasi interpersonal antara ODHA dan pasangannya merupakan langkah strategis yang perlu diprioritaskan.
“Dengan keterbukaan, peluang pencegahan penularan HIV akan semakin besar. Sebaliknya, menutup diri justru memperlebar risiko penyebaran,” tulis Isnanto dalam kesimpulan penelitiannya.
Penelitian Isnanto Hendra Purnama ini pada akhirnya memberi gambaran jelas bahwa memutus rantai penularan HIV bukan hanya soal obat dan terapi medis, tetapi juga keberanian untuk terbuka dan lingkungan yang mau menerima dengan empati. (ed. Sulistya NG)
sumber: repositori UNIMMA