Magelang, 22 Agustus 2025 – Skizofrenia selama ini masih menjadi salah satu tantangan besar dalam dunia kesehatan jiwa. Gangguan yang ditandai dengan disorganisasi pikiran, emosi, dan perilaku ini kerap menimbulkan stigma di masyarakat, terutama karena pasien kadang menunjukkan gejala perilaku agresif atau kekerasan. Fenomena inilah yang mendorong tiga peneliti dari bidang keperawatan, yakni Ajeng Dhian Puspitasari, Sri Susilowati, dan Ayu Rahayu Sari, untuk melakukan penelitian mendalam mengenai faktor predisposisi perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia. Studi ini dilakukan di RSUD KRT Setjonegoro Wonosobo, rumah sakit rujukan di Jawa Tengah yang menangani banyak pasien dengan gangguan jiwa.
Tujuan utama penelitian ini adalah menggali faktor-faktor latar belakang yang berhubungan dengan munculnya perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia. Pemahaman terhadap faktor tersebut dianggap penting agar tenaga kesehatan dapat memberikan perawatan yang lebih tepat, serta keluarga dan masyarakat dapat memberikan dukungan yang sesuai.
Peneliti menggunakan desain penelitian deskriptif kuantitatif dengan melibatkan 77 responden yang merupakan pasien skizofrenia rawat inap. Instrumen penelitian berupa kuesioner yang memuat berbagai aspek predisposisi, seperti riwayat keluarga, pengalaman masa lalu, kondisi psikologis, serta faktor sosial dan budaya.
Hasil penelitian ini cukup menarik. Dari data yang dihimpun, ditemukan bahwa sebagian besar responden memiliki riwayat keluarga dengan gangguan jiwa. Faktor genetik dan lingkungan keluarga ternyata memberikan kontribusi yang signifikan terhadap munculnya perilaku kekerasan. Selain itu, pengalaman traumatis di masa lalu juga menjadi pemicu penting. Pasien yang pernah mengalami penolakan, perlakuan tidak adil, atau peristiwa traumatis lebih berisiko menunjukkan perilaku agresif saat kambuh.
Penelitian ini juga menyoroti aspek dukungan sosial. Banyak pasien yang tidak mendapatkan dukungan optimal dari keluarga maupun lingkungan sekitar. Isolasi sosial, kurangnya komunikasi yang hangat, serta stigma masyarakat justru memperburuk kondisi pasien. Hal ini sesuai dengan teori bahwa dukungan sosial yang minim dapat mempercepat kekambuhan dan meningkatkan risiko munculnya perilaku berbahaya.
Dari segi budaya, peneliti menemukan bahwa sebagian responden pernah dibawa ke pengobatan alternatif sebelum akhirnya dirawat di rumah sakit. Kondisi ini menunjukkan masih adanya anggapan di masyarakat bahwa skizofrenia bukan gangguan medis, melainkan gangguan supranatural. Penanganan yang kurang tepat di tahap awal menyebabkan kondisi pasien memburuk hingga akhirnya menimbulkan perilaku kekerasan.
Temuan yang juga menonjol adalah faktor psikologis. Pasien dengan harga diri rendah, rasa putus asa, serta pola pikir negatif terhadap diri sendiri dan lingkungannya cenderung lebih mudah menunjukkan perilaku agresif. Kondisi psikologis ini sering kali berakar dari pengalaman hidup panjang, mulai dari pola asuh keluarga, pengalaman ditolak di lingkungan sosial, hingga keterbatasan dalam pendidikan dan pekerjaan.
Penelitian Ajeng Dhian dan rekan-rekannya ini menegaskan bahwa perilaku kekerasan pada pasien skizofrenia tidak muncul secara tiba-tiba, melainkan merupakan hasil akumulasi berbagai faktor predisposisi yang saling berhubungan. Genetika, pengalaman traumatis, kondisi psikologis, dukungan sosial, hingga budaya masyarakat, semuanya memiliki andil dalam membentuk respons pasien.
Bagi tenaga kesehatan, hasil penelitian ini menjadi pijakan penting untuk menyusun rencana asuhan keperawatan yang lebih komprehensif. Intervensi tidak hanya berfokus pada penanganan gejala saat kambuh, tetapi juga menyentuh aspek keluarga, psikologis, dan sosial pasien. Sementara itu, bagi masyarakat luas, penelitian ini mengingatkan bahwa dukungan dan penerimaan sangat dibutuhkan oleh penderita skizofrenia agar mereka dapat hidup lebih bermakna dan tidak terjebak dalam siklus kekambuhan.
Dengan temuan ini, Ajeng Dhian Puspitasari dan tim berharap ada peningkatan kesadaran kolektif, baik di kalangan tenaga medis maupun masyarakat, untuk bersama-sama menghapus stigma dan memberikan perhatian lebih pada pasien skizofrenia. Perilaku kekerasan yang sering ditakuti masyarakat sejatinya bisa diminimalisasi, asalkan faktor predisposisinya dipahami dan ditangani dengan tepat sejak dini. (ed. Sulistya NG)
sumber: repositori UNIMMA