Magelang, 28 Agustus 2025 – Hipotermia pasca operasi masih menjadi masalah serius di dunia medis. Kondisi ini bukan hanya menyebabkan pasien menggigil, tetapi juga berpotensi menimbulkan komplikasi seperti gangguan pernapasan, gangguan jantung, hingga memperlambat penyembuhan luka. Fakta di lapangan menunjukkan, kasus hipotermia pasca operasi terjadi cukup tinggi. Di RSUD Tidar Magelang misalnya, 85 persen pasien yang masuk ruang ICU pasca operasi dalam tiga bulan terakhir datang dalam kondisi hipotermia.
Menjawab fenomena tersebut, Andita Novtiana Sari, mahasiswi Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang, melakukan kajian ilmiah berjudul “Efektivitas Penggunaan Blanket Warmer pada Pasien Hipotermia Post Operasi: Literature Review”. Melalui telaah mendalam terhadap sembilan artikel penelitian, ia berusaha mengungkap seberapa besar peran blanket warmer – selimut penghangat yang diatur dengan suhu tertentu – dalam mengatasi hipotermia pada pasien pasca operasi.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), jumlah prosedur pembedahan terus meningkat drastis dari tahun ke tahun, mencapai 234 juta jiwa pada 2020. Dari sekian banyak operasi, risiko komplikasi selalu mengintai, salah satunya hipotermia. Kondisi ini terjadi ketika tubuh kehilangan panas lebih cepat daripada memproduksi panas. Jika tidak segera ditangani, hipotermia bisa berujung fatal: mulai dari gagal jantung hingga kematian.
Di Indonesia, data Kementerian Kesehatan mencatat bahwa prosedur pembedahan menempati urutan ke-11 dari 50 besar penanganan penyakit di rumah sakit. Tak heran jika perawat dan tenaga medis dituntut memiliki intervensi yang cepat, tepat, dan aman untuk menangani komplikasi pasca operasi, termasuk penurunan suhu tubuh.
Dalam penelitiannya, Andita menekankan bahwa penatalaksanaan hipotermia dapat ditempuh dengan dua cara: farmakologis (obat-obatan) dan non-farmakologis. Salah satu metode non-farmakologis yang paling menjanjikan adalah penghangatan eksternal aktif menggunakan blanket warmer.
Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui efektivitas blanket warmer dalam menaikkan suhu tubuh pasien pasca operasi, sekaligus menggali faktor-faktor yang memengaruhi kejadian hipotermia, mulai dari jenis anestesi hingga jenis operasi.
Berbeda dengan penelitian lapangan, skripsi ini menggunakan literature review atau studi kepustakaan. Andita menelusuri artikel dari Google Scholar dan PubMed dengan kata kunci “blanket warmer, hypothermia, postoperative”, dalam rentang waktu 2018–2023. Dari 118 artikel yang ditemukan, setelah seleksi ketat sesuai kriteria, tersisa 9 artikel yang relevan untuk dianalisis.
Artikel-artikel tersebut membahas berbagai penelitian di rumah sakit Indonesia, dengan desain studi beragam, mulai dari quasi-eksperimen hingga studi kasus. Dari situlah peneliti menarik kesimpulan tentang efektivitas blanket warmer.
Kajian Andita menunjukkan bahwa hampir semua pasien pasca operasi mengalami hipotermia, terutama mereka yang menjalani anestesi umum, yang berisiko 7,4 kali lebih besar mengalami penurunan suhu dibanding pasien anestesi regional.
Penggunaan blanket warmer terbukti mampu menaikkan suhu tubuh pasien rata-rata 1,5°C, dengan pengaturan suhu 44–46°C. Waktu yang dibutuhkan pun relatif singkat, yakni antara 15 hingga 45 menit untuk mencapai kondisi normotermia.
Selain itu, blanket warmer juga efektif mengurangi derajat shivering (menggigil) pada pasien. Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien yang awalnya berada pada derajat menggigil sedang hingga berat, setelah diberikan blanket warmer mengalami perbaikan signifikan hingga tidak lagi mengalami shivering.
Dari hasil telaah sembilan artikel, Andita menyimpulkan bahwa blanket warmer adalah intervensi non-farmakologis yang efektif untuk menangani hipotermia pasca operasi. Selain aman dan mudah digunakan, blanket warmer juga dapat menjadi standar prosedur di rumah sakit, khususnya di ruang pemulihan atau ICU.
Penelitian ini menegaskan pentingnya peran perawat dalam memanfaatkan teknologi sederhana untuk meningkatkan keselamatan pasien. Dengan blanket warmer, risiko komplikasi akibat hipotermia dapat ditekan, waktu pemulihan pasien menjadi lebih cepat, serta kualitas pelayanan kesehatan meningkat.
Andita merekomendasikan agar penggunaan blanket warmer lebih dioptimalkan di fasilitas kesehatan. Selain itu, penelitian lebih lanjut dengan cakupan responden lebih luas tetap diperlukan untuk memperkuat bukti ilmiah, termasuk perbandingan efektivitas blanket warmer dengan metode penghangatan lain seperti fluid warmer atau forced-air warming.
Penelitian ini sekaligus menegaskan bahwa inovasi dalam pelayanan keperawatan tidak selalu harus mahal. Sebuah selimut penghangat, jika digunakan dengan benar, bisa menjadi penyelamat nyawa di ruang operasi. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA