Magelang, 29 Agustus 2025 – Satria Bimantoro, seorang peneliti dari Fakultas Hukum, menyoroti sebuah isu yang sangat dekat dengan masyarakat pencari keadilan: kualitas pelayanan di Pengadilan Agama Magelang. Dalam penelitiannya, Satria mengupas secara rinci bagaimana sistem Pelayanan Terpadu Satu Pintu (PTSP) diterapkan, apa tujuan utamanya, serta hambatan yang dihadapi di lapangan.
Tema yang diangkat ini bukan tanpa alasan. Kehadiran PTSP sejatinya menjadi terobosan Mahkamah Agung dalam meningkatkan pelayanan publik di lingkungan peradilan agama. Sistem ini diharapkan mampu memangkas birokrasi panjang, memberikan kepastian waktu, serta menyederhanakan proses administrasi hukum bagi masyarakat. “Tujuan utama dari penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana PTSP diterapkan di Pengadilan Agama Magelang serta apa saja hambatan yang muncul dalam praktiknya,” jelas Satria.
Dalam skripsi setebal lebih dari seratus halaman itu, Satria menegaskan bahwa orientasi pelayanan publik haruslah berpihak pada kepuasan masyarakat. Oleh karena itu, ia menggunakan metode penelitian kualitatif dengan teknik wawancara, observasi, dan dokumentasi. Pendekatan ini dipilih agar dapat menggali informasi yang lebih dalam dari para pegawai pengadilan, pihak manajemen, maupun masyarakat pengguna layanan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara umum, penerapan PTSP di Pengadilan Agama Magelang sudah berjalan sesuai aturan yang ditetapkan Mahkamah Agung. Alur pelayanan lebih tertata, masyarakat tidak lagi kebingungan berpindah dari satu meja ke meja lain, dan waktu pelayanan dapat lebih terkendali. “Masyarakat cukup mendatangi satu loket untuk segala urusan administrasi,” ungkap salah seorang responden yang diwawancarai peneliti.
Namun, penelitian ini juga menyoroti berbagai hambatan yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Satria menemukan ada sejumlah kendala utama, antara lain keterbatasan sumber daya manusia, masih adanya pegawai yang kurang memahami detail teknis PTSP, serta sarana prasarana yang belum sepenuhnya memadai. Beberapa masyarakat pengguna layanan pun mengaku masih menemui kesulitan, terutama dalam hal pemahaman prosedur hukum yang terkadang dianggap rumit.
Di sisi lain, kendala teknis seperti jaringan komputer dan infrastruktur penunjang juga menjadi catatan penting. Menurut Satria, kelemahan ini berpotensi mengurangi efektivitas PTSP, padahal tujuan awalnya adalah untuk memberikan pelayanan cepat, sederhana, dan biaya ringan. “Kendala-kendala ini harus segera diatasi agar citra pelayanan publik di pengadilan agama semakin meningkat,” tegasnya.
Meski demikian, penelitian ini juga memotret upaya perbaikan yang sudah dilakukan. Pihak Pengadilan Agama Magelang terus berusaha meningkatkan kapasitas pegawai melalui pelatihan, memperbaiki sistem antrean, serta mengoptimalkan sarana berbasis teknologi informasi. Langkah-langkah tersebut diharapkan bisa menutup celah hambatan sekaligus menjawab kebutuhan masyarakat akan layanan hukum yang transparan dan akuntabel.
Menariknya, Satria juga menyampaikan bahwa keberhasilan PTSP tidak hanya bergantung pada kesiapan aparat pengadilan, tetapi juga kesadaran masyarakat sebagai pengguna layanan. Edukasi hukum dinilai penting agar publik lebih memahami hak dan kewajibannya saat berhadapan dengan proses peradilan agama. “Tanpa adanya pemahaman dari masyarakat, pelayanan satu pintu pun tetap akan menghadapi tantangan,” paparnya.
Kesimpulan dari penelitian ini cukup jelas: meski PTSP di Pengadilan Agama Magelang sudah membawa banyak perubahan positif, masih terdapat celah yang perlu segera ditangani. Diperlukan peningkatan kompetensi pegawai, perbaikan sarana, serta penyuluhan hukum kepada masyarakat agar tujuan pelayanan yang cepat, sederhana, dan transparan benar-benar tercapai.
Dengan riset ini, Satria Bimantoro tidak hanya menghadirkan potret pelayanan publik di peradilan agama, tetapi juga menyumbangkan rekomendasi penting untuk pembenahan ke depan. Hasil penelitiannya bisa menjadi rujukan bagi pengadilan agama lain di Indonesia yang tengah berupaya menerapkan sistem PTSP.
Di tengah tuntutan masyarakat yang semakin kritis terhadap pelayanan publik, penelitian semacam ini menjadi pengingat bahwa reformasi birokrasi tidak boleh berhenti di atas kertas. Ia harus terus dikawal agar tujuan utamanya—memberikan pelayanan prima kepada rakyat—dapat benar-benar terwujud. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA