Magelang – Di tengah keberagaman Indonesia yang dikenal majemuk, dunia pendidikan dituntut tidak hanya mencetak generasi cerdas secara akademis, tetapi juga memiliki sikap toleran, demokratis, adil, dan menjunjung kesetaraan. Kesadaran inilah yang mendorong Muhammad Fatur Rifai, mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Magelang, meneliti lebih jauh bagaimana pendidikan multikultural diterapkan di SD Muhammadiyah Gunungpring, Muntilan.
Latar Belakang
Indonesia berdiri di atas keberagaman etnis, bahasa, budaya, hingga agama. Namun, perbedaan ini kerap memunculkan gesekan, bahkan sejak usia sekolah dasar. Fatur menemukan fakta bahwa siswa sering kali mengejek teman karena perbedaan dialek, strata sosial, atau budaya. Jika dibiarkan, perilaku ini dapat menumbuhkan sikap intoleran.
Berangkat dari fenomena tersebut, ia menekankan pentingnya pendidikan multikultural sejak dini. Sekolah dasar, menurutnya, adalah ruang strategis untuk menanamkan nilai-nilai kebersamaan agar anak terbiasa hidup dalam keberagaman.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menggali perencanaan, pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan multikultural di SD Muhammadiyah Gunungpring. Fokusnya adalah bagaimana sekolah membangun lingkungan belajar yang kondusif, menghargai perbedaan, serta menjadikan keberagaman sebagai kekuatan.
Metode Penelitian
Dengan pendekatan kualitatif deskriptif, Fatur mengumpulkan data melalui observasi, wawancara, dan dokumentasi. Narasumber penelitian terdiri dari kepala sekolah, guru, dan siswa. Untuk menjaga keabsahan data, ia menggunakan teknik triangulasi, yakni membandingkan hasil dari berbagai sumber dan metode.
Hasil Penelitian
-
Perencanaan
Kepala sekolah memegang peran sentral. Ia memberikan arahan kepada guru agar selalu menyisipkan nilai multikultural dalam pembelajaran. Perencanaan dituangkan dalam rapat, evaluasi guru, bahkan dalam dokumen RPP pada mata pelajaran seperti IPS dan PPKn. Guru tidak selalu menulis RPP khusus, tetapi menanamkan nilai keberagaman secara tersirat di setiap pelajaran. -
Pelaksanaan
Pendidikan multikultural dilaksanakan melalui berbagai cara, mulai dari pembelajaran di kelas hingga kegiatan ekstrakurikuler. Nilai toleransi terlihat saat siswa diajarkan menghargai teman baru meski berbeda seragam. Nilai demokrasi dipraktikkan ketika siswa bebas memilih tempat duduk. Nilai kesetaraan dijalankan dengan memberikan kesempatan yang sama bagi setiap siswa mengikuti lomba. Sementara nilai keadilan diwujudkan melalui pemberian fasilitas yang merata bagi semua anak.Selain itu, budaya sekolah juga mendukung. Guru membiasakan salam, senyum, dan sapa setiap pagi. Kegiatan pengajian, rapat tahunan, hingga layanan antar jemput siswa menjadi bagian dari upaya membangun lingkungan inklusif.
-
Evaluasi
Evaluasi tidak dilakukan dalam bentuk ujian khusus. Namun, guru menilai keberhasilan pendidikan multikultural dari perilaku siswa sehari-hari. Misalnya, apakah siswa mampu bersikap toleran dalam bermain, menghormati perbedaan, dan menjaga kerjasama. Evaluasi dilakukan dalam dua bentuk: saat pelaksanaan di lapangan, dan dalam tindak lanjut berupa penilaian sikap yang tercermin pada hasil belajar.
Faktor Pendukung dan Penghambat
Penelitian ini juga menemukan faktor pendukung, di antaranya:
-
Arahan dan teladan kepala sekolah.
-
Sarana prasarana sekolah yang memadai, mulai dari ruang kelas, perpustakaan, hingga mushola.
-
Pendekatan guru yang efektif dalam menyampaikan nilai-nilai keberagaman.
Namun, ada pula hambatan:
-
Latar belakang siswa yang beragam, termasuk pola asuh orang tua yang belum menekankan sikap toleransi.
-
Lingkungan asal siswa yang kadang membawa kebiasaan eksklusif ke sekolah.
Kesimpulan
Skripsi Muhammad Fatur Rifai menyimpulkan bahwa implementasi pendidikan multikultural di SD Muhammadiyah Gunungpring berjalan baik meskipun belum sepenuhnya ideal. Nilai-nilai toleransi, demokrasi, kesetaraan, dan keadilan sudah ditanamkan melalui pembelajaran dan budaya sekolah, tetapi evaluasinya masih bersifat tidak formal.
Temuan ini memperlihatkan bahwa pendidikan multikultural tidak cukup hanya ditulis dalam kurikulum, melainkan harus hidup dalam interaksi sehari-hari di sekolah. Dengan teladan guru dan dukungan kepala sekolah, siswa dapat belajar menerima perbedaan sejak dini, sehingga kelak mampu menjadi generasi yang menghargai keberagaman bangsa. (ed-AIS)
Sumber: repository UNIMMA