Anak dalam Pusaran Terorisme: Kajian Vivi Alfiara soal Pertanggungjawaban Pidana
2 September 2025

Admin perpustakaan

Magelang, 02 September 2025 – Fenomena anak yang terjerat jaringan terorisme kian menimbulkan keprihatinan. Kasus-kasus yang menyeret remaja di bawah umur ke dalam aksi bom bunuh diri atau keterlibatan dalam kelompok radikal menunjukkan bahwa ancaman terorisme tidak lagi terbatas pada orang dewasa. Dari kenyataan itu, muncul sebuah penelitian akademis yang mencoba memberi jawaban atas pertanyaan pelik: bagaimana seharusnya hukum memperlakukan anak yang terlibat tindak pidana terorisme?

Itulah yang dikaji oleh Vivi Alfiara, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya berjudul “Pertanggungjawaban Pidana Bagi Anak Pelaku Tindak Pidana Terorisme”, Vivi menyoroti sisi gelap dunia anak-anak yang dimanfaatkan oleh jaringan teroris dan menelaah posisi mereka di mata hukum.

Vivi menyusun penelitiannya dengan tujuan ganda. Pertama, menjelaskan peran anak dalam berbagai kasus tindak pidana terorisme yang terjadi di Indonesia. Kedua, menganalisis bagaimana pertanggungjawaban pidana diterapkan kepada anak yang terbukti terlibat dalam aksi-aksi tersebut. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya membedah teori hukum, tetapi juga menimbang praktik penegakan hukum di pengadilan.

Metode penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, yakni dengan menelaah aturan hukum positif serta mengkaji kasus-kasus yang telah memperoleh putusan pengadilan. Vivi memanfaatkan pendekatan undang-undang dan kasus untuk mendapatkan gambaran menyeluruh. Sumber data utama yang digunakan berasal dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 jo Perpu Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2012 tentang Sistem Peradilan Pidana Anak, serta Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perlindungan Anak.

Selain kajian normatif, Vivi menelaah kasus-kasus nyata, salah satunya keterlibatan anak dalam peledakan bom di Samarinda serta peristiwa teror di kawasan Thamrin, Jakarta. Dari kasus tersebut, ia berusaha memahami bagaimana hakim menimbang peran anak dan menjatuhkan putusan.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak-anak yang terlibat dalam tindak pidana terorisme kerap dimanfaatkan sebagai “alat” oleh orang dewasa. Sifat anak yang masih labil dan mudah dipengaruhi membuat mereka rentan terhadap doktrinasi ideologi radikal.

Dalam aspek hukum, KUHP Pasal 55 dan 56 membedakan antara pelaku utama dan pelaku pembantu. Ketentuan ini, bila dikaitkan dengan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memberi ruang bagi hakim untuk menilai tingkat keterlibatan anak. Pada kenyataannya, anak tetap bisa dimintai pertanggungjawaban pidana bila perbuatannya memenuhi unsur tindak pidana sebagaimana diatur dalam pasal 7, 9, dan 15 UU No. 15 Tahun 2003.

Namun, hakim juga harus memperhatikan perlindungan khusus bagi anak. Dalam putusan terkait kasus Samarinda dan Thamrin, majelis hakim menyesuaikan hukuman dengan mengacu pada UU Sistem Peradilan Pidana Anak serta UU Perlindungan Anak. Akibatnya, vonis yang dijatuhkan lebih ringan dibanding hukuman bagi pelaku dewasa, yakni berupa pidana penjara 2 hingga 5 tahun.

Dari penelitian ini, Vivi menyimpulkan bahwa negara menghadapi dilema ganda: menindak tegas kejahatan luar biasa berupa terorisme, sekaligus menjamin hak anak yang dilibatkan dalam kejahatan tersebut. Regulasi memang sudah memberi kerangka, tetapi belum ada aturan khusus yang secara rinci mengatur anak sebagai pelaku tindak pidana terorisme.

Oleh karena itu, menurut Vivi, penting bagi hakim untuk mengedepankan keadilan moral. Penjatuhan hukuman kepada anak tidak boleh hanya berorientasi pada pembalasan, tetapi juga pada rehabilitasi dan deradikalisasi. Anak yang terseret terorisme sejatinya juga korban—korban dari doktrin, propaganda, dan eksploitasi.

Penelitian ini memberi pesan penting bagi bangsa: perlindungan anak harus tetap menjadi prioritas, bahkan ketika anak terjerat dalam kasus terorisme. Pemerintah dan aparat penegak hukum diharapkan memperkuat program deradikalisasi, pendidikan, serta pendampingan psikologis, agar anak yang pernah bersentuhan dengan terorisme tidak kehilangan masa depan.

Melalui karyanya, Vivi Alfiara mengingatkan bahwa membangun keadilan bukan hanya tentang menegakkan hukum, melainkan juga tentang memberi kesempatan kedua bagi generasi muda untuk kembali ke jalan yang benar. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut