Magelang, 02 September 2025 – Pandemi COVID-19 yang mengguncang dunia sejak akhir 2019 tidak hanya menguji sistem kesehatan global, tetapi juga daya tahan para tenaga kesehatan. Salah satu kelompok yang paling rentan terdampak adalah perawat. Mereka berada di garda terdepan, berhadapan langsung dengan pasien, menghadapi risiko tinggi terpapar virus, serta beban kerja yang meningkat drastis. Kondisi ini mendorong munculnya fenomena burnout atau kelelahan fisik dan mental yang berkepanjangan.
Fenomena ini menjadi fokus penelitian Fauzi Aldiansyah, mahasiswa Program Studi Ilmu Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang. Melalui metode literature review, Fauzi meneliti berbagai artikel ilmiah untuk menggali faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat burnout perawat selama masa pandemi.
Fauzi mencatat, hingga Mei 2022 tercatat lebih dari 519 juta kasus positif COVID-19 secara global dengan angka kematian mencapai 2,2 persen. Di Indonesia sendiri, kasus positif menembus enam juta, dan 2,7 persen di antaranya berakhir dengan kematian. Lonjakan kasus tersebut menyebabkan fasilitas kesehatan kewalahan, sementara perawat menjadi salah satu tenaga yang paling terbebani.
“Perawat tidak hanya dituntut profesional secara fisik, psikologis, sosial, dan spiritual, tetapi juga harus menghadapi risiko kelelahan yang dapat berujung pada burnout,” tulis Fauzi. Kondisi ini, menurutnya, berdampak langsung terhadap kualitas pelayanan rumah sakit, keselamatan pasien, bahkan kesehatan perawat itu sendiri.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor utama yang mempengaruhi burnout perawat pada masa pandemi COVID-19. Fauzi menggunakan metode literature review dengan menelaah artikel-artikel dari basis data internasional seperti PubMed dan Google Scholar. Dari ratusan artikel yang ditelusuri, lima artikel terpilih sesuai kriteria inklusi dan kemudian dianalisis secara mendalam.
Analisis Fauzi menemukan bahwa burnout pada perawat tidak dapat dipandang seragam. Ada variasi tingkat kelelahan, mulai dari kategori ringan hingga sedang. Namun, sebagian besar perawat cenderung mengalami burnout pada tingkat sedang.
Adapun faktor-faktor utama yang mempengaruhi burnout adalah:
- Pendidikan
Perbedaan tingkat pendidikan ternyata mempengaruhi daya tahan perawat menghadapi tekanan kerja. Perawat dengan pendidikan diploma (D3) justru menunjukkan kinerja lebih baik dibandingkan lulusan sarjana (S1). Hal ini berkaitan dengan pengalaman kerja yang lebih lama pada kelompok diploma, sementara kelompok sarjana kerap mengalami kesenjangan antara harapan profesional dengan realitas lapangan. - Penggunaan Alat Pelindung Diri (APD)
Penggunaan APD yang wajib selama pandemi membawa konsekuensi tersendiri. Perawat melaporkan ketidaknyamanan, panas, terbatasnya gerak, dan bertambahnya waktu kerja akibat penggunaan APD. Kondisi ini memperparah kelelahan, meskipun APD tetap menjadi tameng utama melindungi dari paparan virus. - Usia
Faktor usia juga berperan signifikan. Perawat berusia di bawah 30 tahun cenderung lebih rentan mengalami burnout dibandingkan rekan mereka yang lebih senior. Kedewasaan, pengalaman, serta kemampuan adaptasi perawat yang lebih tua dinilai membantu mengurangi tingkat kelelahan mental maupun fisik.
Selain ketiga faktor utama di atas, Fauzi juga menggarisbawahi pengaruh beban kerja yang berlebihan, jam kerja panjang, serta kondisi emosional akibat interaksi langsung dengan pasien COVID-19. Tidak jarang perawat mengalami kelelahan hingga harus bekerja dengan risiko kesehatan yang mengancam.
Burnout pada perawat tidak bisa dipandang sepele. Kondisi ini dapat menurunkan kualitas pelayanan, melemahkan performa kerja, hingga mengancam kesehatan fisik dan mental perawat. Dalam jangka panjang, burnout berpotensi menyebabkan perawat meninggalkan profesinya. “Gejala seperti sinisme, kelelahan ekstrem, hingga gangguan emosional adalah tanda nyata yang tidak boleh diabaikan,” jelas Fauzi dalam kajiannya.
Dari penelitiannya, Fauzi menyimpulkan bahwa faktor pendidikan, penggunaan APD, dan usia merupakan variabel paling berpengaruh terhadap tingkat burnout perawat. Ia menekankan pentingnya dukungan sosial, baik dari rumah sakit, rekan kerja, maupun keluarga, sebagai penyangga emosional bagi para tenaga kesehatan.
Fauzi juga memberikan saran agar hasil penelitian ini dijadikan bahan evaluasi manajemen rumah sakit. Upaya pencegahan burnout harus menjadi perhatian serius, tidak hanya dengan penyediaan fasilitas kerja yang layak, tetapi juga dengan memperhatikan kesejahteraan psikologis perawat.
Penelitian ini menambah wawasan penting bagi dunia keperawatan, khususnya di Indonesia, dalam menyiapkan strategi menghadapi krisis kesehatan di masa mendatang. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA