Magelang, 08 September 2025 – Dunia pers Indonesia kembali menjadi sorotan melalui penelitian yang dilakukan Yoga Farhan Yulianto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya berjudul “Efektifitas Undang-Undang No. 40 Tahun 1999 Tentang Pers (Studi Kode Etik Jurnalistik Tentang Pemberitaan yang Memicu Konflik di Masyarakat)”, ia menyoroti peran pers sekaligus problematika hukum yang melingkupinya.
Penelitian ini lahir dari keresahan atas maraknya pemberitaan media yang justru memicu konflik horizontal di masyarakat. Sejumlah peristiwa, seperti kerusuhan Ambon (2000), Sampit (2001), hingga kasus Wamena (2019), menjadi contoh nyata bagaimana informasi yang seharusnya mencerahkan, justru dapat menyulut bara pertikaian.
Tujuan penelitian yang diusung Yulianto jelas: mengkaji sejauh mana efektivitas UU No. 40 Tahun 1999 beserta Kode Etik Jurnalistik dalam mengendalikan arus pemberitaan yang berpotensi menimbulkan konflik, serta mengidentifikasi hambatan-hambatan dalam implementasinya
Dengan menggunakan pendekatan yuridis normatif serta studi kasus, ia menelaah regulasi, literatur, dan pemberitaan dari sejumlah media besar. Data diperoleh melalui studi kepustakaan, lalu dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif untuk melihat kesenjangan antara idealisme hukum dan praktik di lapangan
Dalam pembahasan, Yulianto menekankan bahwa pers memegang peran vital dalam demokrasi. Media disebut sebagai voice of the voiceless – wadah bagi rakyat untuk menyampaikan aspirasi dan kontrol sosial. Namun di sisi lain, kebebasan pers bagaikan pedang bermata dua. Alih-alih memberi pencerahan, berita yang tidak berimbang dapat memicu kebencian, bahkan konflik komunal.
UU No. 40 Tahun 1999 lahir pasca reformasi sebagai jaminan kebebasan pers. Pasal-pasal di dalamnya menegaskan kewajiban media untuk menyampaikan informasi yang akurat, menghormati norma agama, kesusilaan, serta asas praduga tak bersalah. Namun, implementasi undang-undang tersebut belum sepenuhnya efektif.
Hasil kajian menunjukkan bahwa UU Pers 1999 dan Kode Etik Jurnalistik belum sepenuhnya mampu mencegah munculnya pemberitaan yang memicu konflik. Regulasi masih dianggap tumpang tindih, multitafsir, serta lemah dalam penegakan
Salah satu kelemahan mencolok adalah soal sanksi. UU Pers hanya membebankan tanggung jawab pada pemimpin redaksi, sementara wartawan yang menulis berita kerap luput dari jeratan hukum. Hal ini menimbulkan ketidakpastian di kalangan penegak hukum dan berimplikasi pada lemahnya kontrol terhadap perilaku pers.
Selain itu, ada kebingungan tentang lembaga mana yang berwenang menindak pelanggaran kode etik. Dewan Pers, sesuai mandat undang-undang, lebih berperan sebagai lembaga mediasi, bukan pengadilan etik yang bisa menjatuhkan sanksi langsung kepada wartawan. Akibatnya, banyak kasus pelanggaran etika yang berakhir tanpa kejelasan.
Yulianto juga mengurai berbagai hambatan dalam penerapan kode etik jurnalistik. Hambatan utama datang dari dua sisi. Pertama, aspek kelembagaan – belum ada otoritas tunggal yang bisa secara tegas menegakkan etika pers di luar lingkup organisasi wartawan tertentu. Kedua, aspek kultural – kode etik masih dipandang sebagai persoalan hati nurani, sehingga penerapannya sangat bergantung pada kesadaran individu wartawan. Hambatan lainnya adalah tekanan dari dinamika politik dan kepentingan pemilik media. Dalam praktiknya, kebebasan pers kerap berbenturan dengan kepentingan bisnis, politik, hingga ideologi tertentu yang mempengaruhi framing berita.
Dari hasil penelitiannya, Yulianto menyimpulkan bahwa UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers dan Kode Etik Jurnalistik belum diterapkan secara maksimal. Ketidakjelasan regulasi dan lemahnya penegakan hukum membuat pers sering kali terjebak dalam pemberitaan destruktif yang memicu konflik.
Ia merekomendasikan perlunya penguatan peran Dewan Pers, peninjauan ulang regulasi agar lebih sinkron dengan KUHP dan UU ITE, serta keberanian aparat hukum dalam menindak tegas pelanggaran pers. Selain itu, masyarakat juga diimbau lebih kritis dalam menyikapi berita, sehingga tidak mudah terprovokasi oleh informasi yang menyesatkan
Penelitian Yoga Farhan Yulianto memberi gambaran bahwa kebebasan pers di Indonesia masih menghadapi tantangan serius. Undang-undang yang ada belum sepenuhnya mampu menyeimbangkan antara kebebasan berekspresi dan tanggung jawab sosial media.
Di tengah derasnya arus informasi, tugas insan pers menjadi semakin berat: menjaga idealisme, menjunjung etika, serta tetap berpihak pada kebenaran. Sebab, seperti kata pepatah lama yang dikutip dalam penelitian ini, pena bisa menjadi “senjata paling berkuasa sekaligus paling berbahaya di dunia.” (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA