Magelang, 8 September 2025 – Bagaimana hakim di pengadilan memutuskan perkara waris? Apakah cukup hanya dengan merujuk Kompilasi Hukum Islam (KHI), atau Al-Qur’an juga dijadikan pegangan utama? Pertanyaan inilah yang mendorong Alvian Nur Taufiq Yulianto, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, meneliti lebih dalam praktik ratio decidendi hakim dalam perkara waris di Pengadilan Agama Mungkid.
Tema Penelitian
Skripsi Alvian mengangkat tema “Analisis Ratio Decidendi Hakim dalam Penggunaan Al-Qur’an sebagai Dasar Hukum Pembagian Waris (Studi Putusan No. 1881/Pdt.G/2021/PA.Mkd)”. Tema ini lahir dari fenomena bahwa meski KHI telah menjadi acuan hukum positif dalam perkara waris, banyak hakim masih menambahkan Al-Qur’an sebagai dasar hukum penguat. Hal itu tampak dalam putusan waris di Pengadilan Agama Mungkid, yang menjadi fokus penelitian Alvian.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini memiliki dua tujuan utama. Pertama, menganalisis kedudukan KHI dan Al-Qur’an sebagai sumber hukum di Pengadilan Agama Indonesia. Kedua, mengkaji ratio decidendi hakim—pertimbangan hukum yang mendasari putusan—dalam penggunaan Al-Qur’an sebagai dasar hukum pembagian waris.
Latar Belakang Kasus
Kasus yang diteliti bermula dari sengketa waris keluarga almarhum Hendro Wahyono. Pihak penggugat menilai janda almarhum, Siti Mujayannah, tidak berhak menerima warisan karena tidak memiliki anak dari pernikahan tersebut. Mereka mendasarkan gugatan pada Pasal 87 KHI dan Undang-Undang Perkawinan. Namun, majelis hakim menolak gugatan itu dan justru merujuk pada Surat An-Nisa ayat 12, yang menegaskan janda tetap mendapat bagian seperempat bila pewaris tidak meninggalkan anak.
Hasil Penelitian
Hasil penelitian Alvian menunjukkan beberapa poin penting:
- Kedudukan KHI dan Al-Qur’an di Pengadilan Agama
Secara hukum formal, KHI merupakan pedoman utama yang diakui negara. Namun, hakim di Pengadilan Agama kerap memperkuat dasar hukum dengan Al-Qur’an. Meskipun menurut UU No. 12 Tahun 2011 Al-Qur’an tidak dikategorikan sebagai peraturan perundang-undangan, wawancara dengan praktisi hukum menunjukkan bahwa Al-Qur’an tetap dianggap sebagai sumber hukum utama yang tidak bisa diabaikan di lingkungan peradilan agama. - Ratio Decidendi Hakim dalam Putusan Waris
Dalam Putusan No. 1881/Pdt.G/2021/PA.Mkd, hakim menimbang bukan hanya KHI, tetapi juga Al-Qur’an Surat An-Nisa ayat 12 sebagai dasar hukum. Putusan itu dinilai tepat karena menegaskan kedudukan janda sebagai ahli waris yang sah dengan bagian seperempat. Hal ini sekaligus menunjukkan kekhasan Pengadilan Agama, yaitu menjadikan Al-Qur’an sebagai penguat dalam memutus perkara. - Implikasi bagi Praktik Hukum
Penelitian ini menegaskan pentingnya integrasi antara hukum positif (KHI) dan sumber normatif Islam (Al-Qur’an) dalam praktik peradilan agama. Hakim tidak hanya menjalankan aturan tertulis, tetapi juga menimbang legitimasi moral dan teologis, sehingga putusan yang dihasilkan lebih diterima oleh masyarakat pencari keadilan.
Kesimpulan
Alvian menyimpulkan bahwa penggunaan Al-Qur’an sebagai dasar hukum di Pengadilan Agama bukan sekadar simbol religiusitas, melainkan bagian dari karakteristik peradilan Islam di Indonesia. Putusan hakim yang memasukkan dalil Al-Qur’an memberikan legitimasi lebih kuat, meskipun secara yuridis formal dasar hukum utama tetap KHI.
Penelitian ini memperkaya literatur hukum Islam di Indonesia dan memberi masukan praktis bagi aparat peradilan agama. Dengan mengkaji ratio decidendi hakim, skripsi ini membuka wawasan bahwa peradilan agama tidak hanya menjalankan teks hukum, tetapi juga menjaga nilai-nilai spiritual yang hidup dalam masyarakat. (ed: Adella)
sumber: repository UNIMMA