Magelang, 15 Agustus 2025 – Kabupaten Magelang selama ini dikenal memiliki program “ambulans desa” yang menjangkau wilayah-wilayah pelosok. Kehadiran layanan ini menjadi penopang penting dalam penyelamatan nyawa korban kecelakaan atau kondisi gawat darurat sebelum sampai ke rumah sakit. Namun, di balik peran vital tersebut, penelitian terbaru mengungkap adanya tantangan serius terkait tingkat pengetahuan dan keterampilan petugasnya dalam penatalaksanaan pasien trauma di tahap prehospital.
Penelitian yang dilakukan oleh Fitriya Arbangatun Nisa dari Universitas Muhammadiyah Magelang ini mengangkat topik penting: Hubungan Tingkat Pengetahuan dengan Penatalaksanaan Pasien Trauma Prehospital pada Petugas Ambulans Desa di Kabupaten Magelang. Tujuannya jelas—menggambarkan sejauh mana pengetahuan para petugas berhubungan dengan kinerja mereka dalam menangani pasien trauma sebelum tiba di rumah sakit.
Trauma, seperti akibat kecelakaan lalu lintas, jatuh, atau luka bakar, merupakan salah satu penyebab utama kematian pada kelompok usia produktif. Data WHO menunjukkan, 90% insiden trauma terjadi di negara berpenghasilan menengah ke bawah, termasuk Indonesia. Di tahun 2023, Kabupaten Magelang mencatat hampir seribu kasus kecelakaan dengan lebih dari 1.200 korban. Ironisnya, banyak korban dibawa menggunakan ambulans tanpa perawatan memadai di perjalanan, atau hanya didampingi oleh orang awam.
Kondisi ini semakin kompleks di daerah pedesaan, di mana tenaga kesehatan terlatih masih minim. Supir atau petugas ambulans sering kali belum memiliki pelatihan formal penanganan gawat darurat, padahal merekalah yang berinteraksi langsung dengan pasien di “golden hour”—periode krusial satu jam pertama setelah trauma, yang menentukan peluang hidup korban.
Fitriya menggunakan metode deskriptif dengan teknik accidental sampling. Sebanyak 61 petugas ambulans desa menjadi responden. Data dikumpulkan melalui kuesioner untuk mengukur tingkat pengetahuan dan observasi pelaksanaan penatalaksanaan pasien trauma prehospital. Pengetahuan dikategorikan menjadi baik, cukup, dan kurang, sementara pelaksanaan dinilai baik, cukup, atau buruk, berdasarkan standar prosedur penanganan trauma.
Gambaran Responden
Mayoritas responden berusia 31–40 tahun (52,5%), seluruhnya berjenis kelamin laki-laki, dan sebagian besar berpendidikan SMA (75,4%). Menariknya, semua responden memiliki masa kerja antara 1–5 tahun. Data ini memberi gambaran bahwa tenaga ambulans desa relatif muda dan homogen dari segi latar belakang pendidikan.
Pengetahuan Masih “Cukup”
Penelitian menemukan bahwa lebih dari separuh responden (52,5%) berada pada kategori pengetahuan “cukup”, hanya 26,2% yang masuk kategori “baik”, sementara 21,3% masih “kurang”. Artinya, sebagian besar petugas belum mencapai standar pengetahuan yang optimal dalam penanganan prehospital pasien trauma.
Pengetahuan yang terbatas ini berpotensi memengaruhi kualitas tindakan yang mereka berikan. Padahal, pemahaman mendalam tentang prinsip Airway, Breathing, Circulation (ABC) serta teknik imobilisasi, pencegahan cedera lanjutan, dan penilaian cepat kondisi pasien sangat penting untuk mencegah kematian atau kecacatan.
Pelaksanaan di Lapangan: Mayoritas Masih “Cukup”
Dari sisi praktik, 42,6% responden berada di kategori “cukup”, 31,2% “baik”, dan 26,2% “buruk”. Fakta ini menunjukkan bahwa meski ada petugas yang mampu memberikan layanan prehospital berkualitas, sebagian besar masih membutuhkan peningkatan keterampilan.
Hal ini sejalan dengan temuan penelitian sebelumnya bahwa kinerja di lapangan erat kaitannya dengan kompetensi teknis, yang pada gilirannya sangat dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman.
Hasil penelitian ini menegaskan perlunya peningkatan kapasitas petugas ambulans desa, baik melalui pelatihan berkelanjutan, simulasi penanganan trauma, maupun penyediaan panduan kerja yang jelas. Pelatihan yang komprehensif bukan hanya akan meningkatkan pengetahuan, tetapi juga keterampilan teknis yang berdampak langsung pada keselamatan pasien.
Fitriya merekomendasikan agar institusi terkait mengadakan pelatihan penatalaksanaan pasien trauma prehospital secara rutin. Materi pelatihan harus mencakup identifikasi kondisi darurat, teknik pertolongan pertama yang tepat, serta prosedur evakuasi yang aman dan cepat.
Secara umum, tingkat pengetahuan dan pelaksanaan penatalaksanaan pasien trauma prehospital oleh petugas ambulans desa di Kabupaten Magelang berada pada kategori “cukup”. Kondisi ini memberi sinyal perlunya intervensi pelatihan dan pembinaan, agar layanan ambulans desa benar-benar menjadi garda terdepan penyelamat nyawa di wilayah pedesaan.
Dengan meningkatkan kualitas pengetahuan dan keterampilan petugas, diharapkan angka kematian dan kecacatan akibat trauma dapat ditekan, sekaligus memberikan rasa aman yang lebih besar bagi masyarakat yang bergantung pada layanan ini. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA