Magelang, 02 September 2025 – Pandemi COVID-19 memaksa dunia pendidikan berubah arah. Dari kelas-kelas riuh dengan suara siswa, suasana belajar mendadak berpindah ke layar gawai. Perubahan ini menjadi tantangan besar, terutama bagi mata pelajaran Pendidikan Agama Islam (PAI) yang menekankan keteladanan, penghayatan, dan pembiasaan nilai. Fenomena inilah yang diteliti oleh Latif Hakam Albar, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Fakultas Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang, dalam skripsinya berjudul “Implementasi Pembelajaran Online Pendidikan Agama Islam Selama Pandemi Covid-19 di SDN Windusari 2.”
SDN Windusari 2, yang dikenal sebagai salah satu sekolah unggulan di Kecamatan Windusari, Kabupaten Magelang, juga tak luput dari kebijakan belajar dari rumah. Para guru dituntut menyesuaikan strategi, sementara siswa harus belajar tanpa kehadiran langsung gurunya. Namun, kenyataan di lapangan menunjukkan banyak kendala. Sebagian siswa tidak memiliki perangkat memadai, akses internet terbatas, bahkan ada yang tertinggal materi. Kondisi inilah yang mendorong Latif melakukan penelitian untuk melihat lebih dalam bagaimana pelaksanaan pembelajaran daring PAI berlangsung, apa yang mendukung, dan apa yang justru menghambat.
Latif merumuskan dua tujuan utama. Pertama, mendeskripsikan bagaimana pelaksanaan pembelajaran PAI secara daring selama pandemi di SDN Windusari 2. Kedua, mengidentifikasi faktor pendorong dan penghambat yang muncul dalam proses pembelajaran daring tersebut. Dengan pendekatan kualitatif, ia mewawancarai kepala sekolah, guru PAI, serta siswa kelas III, IV, dan V, dan melengkapi data melalui dokumentasi.
Dari penelitiannya, Latif menemukan bahwa pembelajaran PAI di SDN Windusari 2 tidak sepenuhnya daring. Sekolah menggunakan model blended learning: mayoritas materi disampaikan secara online, namun beberapa kali guru tetap melakukan tatap muka terbatas dengan siswa, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan.
Media yang paling banyak digunakan adalah WhatsApp dan YouTube. Guru mengirimkan materi, tugas, maupun video pembelajaran melalui grup WhatsApp. Beberapa penjelasan juga dikemas dalam bentuk video yang kemudian diunggah ke YouTube, agar siswa bisa memutar ulang jika belum memahami.
Meski ada upaya maksimal, sejumlah hambatan tak bisa dihindari. Pertama, keterbatasan ekonomi keluarga siswa. Tidak semua memiliki smartphone yang memadai, bahkan ada yang harus bergantian dengan orang tua. Kedua, keterjangkauan sinyal internet. Lokasi rumah sebagian siswa berada di daerah dengan jaringan lemah, sehingga sering tertinggal materi. Ketiga, interaksi guru dan siswa sangat minim. Pembelajaran daring membuat komunikasi tidak selancar ketika tatap muka, sehingga pemahaman siswa terhadap materi pun terbatas.
Di sisi lain, ada pula faktor pendorong. Siswa yang sudah terbiasa menggunakan ponsel cerdas cukup mahir mengakses materi melalui WhatsApp dan YouTube. Dukungan orang tua, meski tidak selalu merata, juga menjadi penentu bagi keberhasilan siswa mengikuti pembelajaran daring.
Catatan dan Refleksi
Hasil penelitian menunjukkan bahwa capaian pembelajaran PAI selama pandemi di SDN Windusari 2 memang belum sepenuhnya optimal. Nilai siswa kerap berada di bawah Kriteria Ketuntasan Minimal (KKM). Namun, ada hal positif yang muncul: guru lebih kreatif dalam memanfaatkan teknologi, sementara siswa belajar menjadi lebih mandiri dalam mengakses materi.
Latif menekankan bahwa pengalaman ini seharusnya tidak hanya dianggap sebagai keterpaksaan karena pandemi. Lebih jauh, ini bisa menjadi momentum transformasi pendidikan. Blended learning, dengan kombinasi daring dan tatap muka, dapat menjadi alternatif strategi di masa depan, asalkan didukung fasilitas memadai dan pelatihan teknologi bagi guru.
Penelitian ini menutup catatan penting: pembelajaran daring memang tidak mampu menggantikan sepenuhnya interaksi langsung, apalagi dalam mata pelajaran yang menekankan teladan seperti PAI. Namun, pengalaman di SDN Windusari 2 menunjukkan semangat guru, siswa, dan orang tua untuk tetap melanjutkan pendidikan di tengah keterbatasan. Dari sini, kita belajar bahwa pendidikan Islam bisa beradaptasi, tetap berjalan, dan bahkan menemukan bentuk baru ketika situasi menuntut. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA