Ketika “Salah Tangkap” Menyisakan Luka
19 September 2025

Admin perpustakaan

Magelang, 19 September 2025 – Dalam skripsi berjudul “Analisis Perkara Pidana dalam Kasus Salah Tangkap Pelaku Tindak Pidana”, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, Entin Shafiyah, mengangkat persoalan penting dan kerap luput dari perhatian publik: salah tangkap (error in persona) oleh aparat penegak hukum dan dampak hukumnya bagi korban. Penelitian ini bukan sekadar kajian teoretis—melainkan pembacaan mendalam atas praktik penegakan hukum dengan menelaah peraturan, yurisprudensi, dan satu kasus konkret yang menjadi fokus studi.

Tema besar karya ini adalah viktimologi dalam bingkai hukum acara: bagaimana korban salah tangkap mengalami kerugian material dan immaterial, serta bagaimana mekanisme hukum (restitusi, kompensasi, ganti rugi) bekerja—atau gagal bekerja—untuk memulihkan mereka. Metodologi yang dipilih peneliti bersifat normatif-yuridis, memadukan pendekatan perundang-undangan dan pendekatan kasus. Sumbernya berupa studi kepustakaan, peraturan terkait (KUHAP, KUHP, UU Perlindungan Saksi dan Korban, Peraturan Pemerintah dan Perma), serta putusan perkara yang relevan, termasuk Putusan Nomor 131 PK/Pid.Sus/2016 yang menjadi studi kasus utama.

Tujuan penelitian ini jelas: (1) mengidentifikasi alat bukti apa yang menjadi dasar bagi jaksa dalam menuntut atau menuntut bebas; dan (2) memetakan upaya hukum yang dapat ditempuh korban salah tangkap. Pertanyaan ini relevan mengingat betapa seringnya kesalahan identifikasi, kelalaian prosedural, dan human error dalam penyelidikan berujung pada penderitaan individu dan rusaknya kepercayaan publik terhadap penegak hukum.

Dari analisis kasus dan kajian norma, Entin menemukan beberapa temuan pokok. Pertama, korban salah tangkap—dalam studi kasus pengamen Cipulir (yang dimuat dalam penelitian)—menderita kerugian riil: stigma sosial, trauma psikologis, gangguan perkembangan ketika pelaku masih anak-anak, serta kerugian ekonomi yang cukup nyata. Kedua, alat bukti yang paling menonjol dalam perkara-perkara semacam ini adalah keterangan saksi dan pengujian terhadap kesesuaian proses penyidikan dengan aturan KUHAP; bukti surat dan keterangan ahli menjadi pelengkap tetapi tidak selalu menutup celah kesalahan prosedural. Ketiga, lembaga bantuan hukum seperti LBH dan LPSK berperan krusial dalam mendampingi korban untuk menuntut restitusi, kompensasi, atau ganti rugi—namun prosedur dan ketersediaan akses masih menjadi kendala.

Skripsi ini juga mengungkap akar masalah yang berulang: lemahnya profesionalisme penyidik, pelanggaran terhadap asas praduga tak bersalah saat mengambil langkah paksa, kesalahan identifikasi, dan dalam beberapa kasus kekhilafan hakim saat menimbang fakta. Akibatnya, kepercayaan publik terhadap kepolisian dan peradilan terkikis—sebuah kondisi yang berisiko memicu tindakan “hakim sendiri” di luar proses hukum.

Di bagian penutup, peneliti menawarkan sejumlah saran praktis: perlu edukasi hukum kepada masyarakat terkait hak-hak tersangka dan korban; peningkatan kualitas penyidikan dan profesionalisme aparat kepolisian serta kejaksaan; penguatan peran LPSK—termasuk membuka kantor perwakilan daerah—agar akses perlindungan bagi korban menjadi lebih mudah; serta upaya sistemik untuk memastikan pemberian restitusi dan kompensasi dapat berjalan efektif sesuai ketentuan perundang-undangan.

Catatan bagi pembaca: studi ini menempatkan korban sebagai pusat analisis—mengimbau agar penegakan hukum tak hanya mengejar efek jera terhadap pelaku, tetapi juga menjamin pemulihan dan keadilan bagi mereka yang menjadi korban salah tangkap. Tulisan Entin Shafiyah merupakan pengingat tegas bahwa prosedur hukum yang patuh pada azas dan bukti adalah benteng terakhir agar tidak ada lagi warga yang harus menanggung label kriminal tanpa kesalahan nyata. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut