Kontroversi Putusan PK Kasus Suap: Kajian Kritis dari Dunia Akademik
29 August 2025

Admin perpustakaan

Magelang, 29 Agustus 2025 – Fenomena praktik penyuapan yang tak kunjung reda kembali menjadi sorotan, kali ini melalui penelitian akademik yang dilakukan oleh Handiansyah Banu Condro, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya berjudul Tinjauan Yuridis Tindak Pidana Penyuapan (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 237 PK/Pid.Sus/2020)”, Handiansyah mengupas tajam sebuah putusan peninjauan kembali (PK) yang dinilai sarat kontroversi.

Kasus yang menjadi objek penelitian ini bermula dari perkara Fahmi Darmawansyah, terpidana korupsi yang kedapatan memberi fasilitas mewah kepada Kepala Lapas Sukamiskin kala itu, Wahid Husen. Fahmi memberikan sejumlah barang bernilai tinggi, termasuk mobil Mitsubishi Triton seharga Rp 427 juta, uang servis mobil, tas Louis Vuitton, hingga sandal merek kenamaan. Bagi publik, rangkaian pemberian itu jelas dipandang sebagai bentuk suap demi mendapatkan kemudahan di balik jeruji besi.

Namun, Mahkamah Agung dalam putusan PK Nomor 237 PK/Pid.Sus/2020 justru membuat gebrakan mengejutkan. Hukuman Fahmi dikurangi dari 3,5 tahun penjara menjadi hanya 1,5 tahun, dengan denda Rp100 juta. Majelis hakim menilai pemberian mobil dan barang-barang tersebut tidak berangkat dari niat jahat, melainkan dianggap sebagai “sifat kedermawanan” Fahmi. Pertimbangan inilah yang kemudian menjadi titik krusial penelitian Handiansyah.

Dalam skripsinya, Handiansyah mengajukan dua pertanyaan mendasar. Pertama, apakah dasar pertimbangan hakim yang meringankan hukuman tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi? Kedua, apakah sikap hakim tersebut melanggar kode etik kehakiman?

Tujuan dari penelitian ini, menurut Handiansyah, adalah untuk membongkar alasan yuridis di balik pengurangan pidana, sekaligus menguji konsistensinya dengan prinsip hukum dan keadilan. Ia juga ingin melihat sejauh mana putusan itu mencerminkan integritas hakim yang seharusnya berpegang pada pedoman etika dan profesionalitas.

Dasar Pertimbangan Hakim

Hasil penelitian menunjukkan bahwa hakim Mahkamah Agung berargumen pengadilan sebelumnya, yakni Pengadilan Negeri Bandung, menjatuhkan hukuman yang dianggap diskriminatif. Dalam putusan PK, hakim menilai tidak ada hubungan langsung antara pemberian Fahmi dan kewajiban Wahid Husen sebagai Kepala Lapas. Fasilitas mewah yang diperoleh Fahmi justru dipandang sebagai kelalaian Wahid dalam menjalankan tugas, bukan akibat dari suap.

Lebih jauh lagi, hakim menilai pemberian mobil senilai ratusan juta rupiah itu semata-mata bentuk kemurahan hati, bukan upaya untuk mempengaruhi kebijakan pejabat lapas. Bahkan, nilai pemberian tersebut dianggap “relatif kecil” dan tidak diniatkan untuk memperoleh keuntungan ekonomi. Pertimbangan inilah yang membuat hukuman Fahmi dipangkas drastis.

Pelanggaran Kode Etik Hakim

Namun, bagi Handiansyah, putusan ini justru memperlihatkan celah besar dalam profesionalitas hakim. Ia menilai hakim Mahkamah Agung telah melanggar sejumlah prinsip utama dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).

Ada empat prinsip yang disebut dilanggar:

  1. Berperilaku adil – karena hakim lebih berpihak pada dalih “kedermawanan” daripada fakta hukum.
  2. Berperilaku jujur – sebab pertimbangan yang dipakai dianggap mengaburkan fakta jelas adanya pemberian bernilai besar.
  3. Berperilaku arif dan bijaksana – karena putusan tidak memperhatikan dampak buruk terhadap upaya pemberantasan korupsi.
  4. Bersikap profesional – sebab pertimbangan hukum tidak mencerminkan konsistensi dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dampak dan Relevansi

Temuan penelitian ini menegaskan bahwa putusan tersebut tidak hanya melemahkan semangat pemberantasan korupsi, tetapi juga meruntuhkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga peradilan. Jika pemberian mobil dan barang mewah oleh narapidana kepada kepala lapas dapat dianggap sekadar kebaikan hati, maka batas antara gratifikasi, suap, dan derma menjadi kabur.

Handiansyah berkesimpulan, putusan Mahkamah Agung Nomor 237 PK/Pid.Sus/2020 jelas bertentangan dengan semangat Undang-Undang Tipikor. Lebih jauh lagi, putusan ini justru menimbulkan preseden buruk dalam penegakan hukum, karena dapat dijadikan pembenaran bagi pelaku lain untuk melakukan praktik serupa.

Penelitian ini menyoroti pentingnya konsistensi dalam putusan pengadilan, terlebih dalam kasus korupsi dan penyuapan yang menjadi musuh utama bangsa. Handiansyah menegaskan bahwa hakim tidak boleh hanya terpaku pada teks hukum atau alasan subjektif, melainkan wajib menegakkan keadilan substantif yang sesuai dengan nurani masyarakat.

Dengan hasil penelitiannya, Handiansyah Banu Condro memberi pesan tegas: korupsi dan penyuapan tidak bisa dilunakkan dengan dalih kedermawanan. Hukum harus berdiri tegak, meskipun langit runtuh. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut