Magelang, 21 Maret 2025 — Di tengah kebiasaan masyarakat Indonesia yang sering mengobati diri sendiri tanpa konsultasi ke tenaga medis, sebuah penelitian dari mahasiswi D3 Farmasi Universitas Muhammadiyah Magelang (UNIMMA), Noviana, menghadirkan data menarik. Karya tulis ilmiahnya mengungkap bahwa mayoritas masyarakat Dusun Pugeran, Desa Krinjing, Kecamatan Dukun memiliki pengetahuan yang baik terkait swamedikasi penyakit maag.
Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui sejauh mana pemahaman masyarakat dalam mengobati penyakit maag secara mandiri, menggunakan obat-obatan tanpa resep dokter—praktik yang dikenal sebagai swamedikasi. Dalam konteks penyakit maag, praktik ini cukup umum dilakukan, terutama di kalangan masyarakat pedesaan yang terbiasa mengatasi keluhan lambung dengan membeli obat langsung di warung.
Berdasarkan survei terhadap 70 responden yang dilakukan di bulan Agustus 2024, hasilnya menunjukkan bahwa sebanyak 82,8% responden memiliki pengetahuan baik, 14,2% berada dalam kategori cukup, dan hanya 2,8% yang tergolong kurang dalam pemahaman mereka. Penilaian ini diambil dari skor jawaban responden terhadap 18 pertanyaan seputar definisi, gejala, penyebab, hingga pemakaian obat maag.
Temuan menarik lainnya adalah bahwa 100% responden mengetahui bahwa makanan pedas dan makan tidak teratur dapat memicu maag, dan mayoritas memahami pentingnya membaca aturan pakai dan efek samping yang tercantum pada kemasan obat. Namun, terdapat kekeliruan yang masih cukup tinggi dalam memahami pemakaian obat antasida dan kaitannya dengan waktu konsumsi atau interaksi dengan makanan dan obat lain.
Dalam praktiknya, masyarakat Dusun Pugeran cenderung membeli obat maag di warung terdekat ketika merasakan nyeri ulu hati atau mual akibat telat makan, tanpa berkonsultasi terlebih dahulu ke dokter. Meskipun demikian, penelitian ini membuktikan bahwa mereka memiliki pemahaman dasar yang cukup baik, terutama yang berkaitan dengan penyebab dan pencegahan maag.
Karakteristik responden didominasi oleh perempuan (54,3%) dan berada pada rentang usia produktif 17–30 tahun (58,6%). Sebagian besar berpendidikan SMA/SMK dan berprofesi sebagai petani. Faktor pendidikan dan usia produktif turut memengaruhi tingkat pengetahuan yang dimiliki. Individu berusia muda dengan tingkat pendidikan menengah atas cenderung lebih mudah menerima informasi dan menerapkan praktik swamedikasi dengan lebih tepat.
Noviana menjelaskan bahwa edukasi tentang swamedikasi yang benar sangat penting untuk mencegah penggunaan obat yang salah atau berlebihan. “Pengobatan mandiri bukan hal yang keliru, tetapi harus didasari pengetahuan yang tepat agar tidak menimbulkan risiko kesehatan baru,” ujarnya.
Menurut dosen pembimbing, apt. Setyo Budi Santoso, M.Sc, penelitian ini menjadi langkah awal yang baik dalam mengedukasi masyarakat akan pentingnya pemahaman tentang penggunaan obat secara mandiri. “Hasil ini dapat dijadikan acuan untuk merancang program edukasi kefarmasian di desa-desa,” ungkapnya.
Penelitian ini tidak hanya memperkuat posisi UNIMMA sebagai institusi yang peduli pada pengembangan ilmu berbasis kebutuhan masyarakat, tetapi juga menunjukkan kontribusi nyata mahasiswa dalam meningkatkan literasi kesehatan di pedesaan. Melalui dokumentasi karya ilmiah yang tersedia di perpustakaan UNIMMA, hasil penelitian ini bisa menjadi sumber rujukan berharga bagi peneliti lain, mahasiswa, maupun dinas kesehatan setempat.
Kesimpulan dari studi ini menyatakan bahwa masyarakat Dusun Pugeran tergolong sadar dan memiliki pengetahuan yang cukup memadai tentang swamedikasi penyakit maag. Meski begitu, peningkatan edukasi tetap diperlukan agar praktik swamedikasi dilakukan dengan lebih bijak dan aman.