Magelang, 22 Agustus 2025 – Sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Yana Margaretha mengungkap fakta menarik tentang perilaku masyarakat dalam menyimpan dan membuang obat-obatan di rumah. Penelitian yang berjudul “Gambaran Pengetahuan Masyarakat tentang Penyimpanan dan Pembuangan Obat di Kecamatan Mertoyudan Kabupaten Magelang” ini berangkat dari keprihatinan atas rendahnya kesadaran masyarakat terkait keamanan obat, yang ternyata berpotensi menimbulkan dampak serius bagi kesehatan maupun lingkungan.
Tujuan penelitian ini sederhana namun penting: mengetahui sejauh mana pengetahuan masyarakat mengenai cara menyimpan obat dengan benar agar tetap aman dikonsumsi, sekaligus memahami bagaimana mereka seharusnya membuang obat yang sudah tidak terpakai. Pertanyaan ini relevan, mengingat obat adalah benda khusus yang bisa mendatangkan manfaat besar, tetapi sekaligus membahayakan bila salah perlakuan.
Hasil penelitian memberikan gambaran yang cukup mengejutkan. Dari ratusan responden yang disurvei, mayoritas masyarakat memang sudah terbiasa menyimpan obat di rumah. Namun, sekitar 67,7 persen responden ternyata masih menyimpan obat di tempat yang salah—misalnya di ruang terbuka, kamar tidur, atau bahkan dapur yang memiliki kelembapan tinggi. Hanya sebagian kecil masyarakat yang benar-benar memahami pentingnya menyimpan obat sesuai aturan, seperti di tempat kering, sejuk, dan jauh dari jangkauan anak-anak.
Lebih jauh lagi, penelitian juga menyoroti persoalan pembuangan obat. Sebanyak 69,9 persen masyarakat ternyata masih membuang obat sembarangan, seperti ke tempat sampah rumah tangga, ke sungai, atau sekadar ditimbun dalam tanah. Cara-cara ini jelas tidak tepat, sebab bisa menyebabkan pencemaran lingkungan dan membahayakan orang lain yang mungkin tanpa sengaja bersentuhan dengan obat yang terbuang. Bahkan ada kemungkinan limbah obat ikut mencemari sumber air bersih.
Fenomena ini menunjukkan bahwa masih ada kesenjangan besar antara kebiasaan masyarakat dengan standar keamanan penyimpanan dan pembuangan obat yang dianjurkan. Padahal, edukasi terkait hal ini seharusnya bisa dilakukan melalui fasilitas kesehatan, apotek, maupun program pemerintah. Obat tidak bisa diperlakukan layaknya sampah biasa, karena mengandung zat aktif yang bisa berbahaya bila disalahgunakan atau tersebar ke lingkungan.
Penelitian ini pun menekankan perlunya strategi baru dalam meningkatkan kesadaran publik. Misalnya, dengan memberikan informasi lebih masif melalui brosur di apotek, kampanye kesehatan, atau penyuluhan di tingkat desa. Selain itu, peran tenaga kesehatan menjadi sangat penting, terutama apoteker, yang bisa langsung memberikan edukasi kepada masyarakat setiap kali obat diserahkan. Upaya kecil seperti ini bisa berdampak besar dalam mencegah risiko yang mungkin timbul akibat kesalahan perlakuan terhadap obat.
Menariknya, penelitian juga menemukan bahwa sebagian masyarakat sebenarnya ingin tahu lebih banyak tentang cara yang benar, hanya saja mereka belum mendapatkan informasi yang cukup. Ini menjadi sinyal positif bahwa bila diberikan edukasi yang tepat, ada kemungkinan besar perubahan perilaku akan terjadi. Dengan demikian, penelitian ini tidak hanya berhenti pada pemetaan masalah, tetapi juga membuka peluang solusi yang dapat ditindaklanjuti oleh pemerintah daerah maupun lembaga kesehatan.
Secara keseluruhan, penelitian Yana Margaretha menjadi pengingat penting bahwa persoalan obat tidak berhenti pada resep dokter atau penggunaannya saja. Ada rantai panjang yang perlu diperhatikan, mulai dari penyimpanan, masa simpan, hingga bagaimana obat itu akhirnya dibuang. Bila setiap mata rantai ini diabaikan, maka yang muncul bukan hanya pemborosan, melainkan juga potensi bahaya bagi masyarakat luas.
Melalui temuan ini, masyarakat diharapkan lebih bijak memperlakukan obat. Penyimpanan di tempat yang aman dan pembuangan sesuai prosedur bukan hanya urusan rumah tangga, tetapi juga bentuk tanggung jawab sosial demi melindungi kesehatan bersama dan menjaga lingkungan. (ed. Sulistya NG)
sumber: repositori UNIMMA