Mediasi Pidana di Balik Kecelakaan Maut: Menimbang Penerapan Restorative Justice di Magelang
12 August 2025

mimin

Magelang, 12 Agustus 2025 – Kasus kecelakaan lalu lintas yang berujung maut kerap menimbulkan dilema hukum. Di satu sisi, undang-undang memandangnya sebagai tindak pidana berat yang layak diselesaikan melalui jalur peradilan. Namun, di sisi lain, pendekatan Restorative Justice (keadilan restoratif) mulai mendapat tempat sebagai alternatif penyelesaian, bahkan untuk kasus yang menyangkut hilangnya nyawa.

Penelitian yang dilakukan oleh Andrian Ricky Gunawan, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, mengupas praktik mediasi pidana di Polres Magelang Kota dalam menangani kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian. Fokus utamanya adalah mengkaji dasar hukum serta kesepakatan yang dicapai dalam penerapan Restorative Justice, meski aturan formal membatasinya.

Menurut Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021, tindak pidana yang menghilangkan nyawa termasuk dalam kategori pengecualian penerapan Restorative Justice. Artinya, secara normatif, kasus semacam itu seharusnya tidak bisa diselesaikan di luar pengadilan. Namun, penelitian ini menemukan bahwa di Polres Magelang Kota, masih ada sejumlah kasus kecelakaan maut yang diselesaikan dengan jalur damai melalui mediasi, terutama jika tidak ada unsur kesengajaan dan keluarga korban telah mengikhlaskan.

Data dari Unit Laka Lantas Polres Magelang Kota menunjukkan, sepanjang 2021 hingga 2023 terdapat 37 kasus kecelakaan maut yang diselesaikan melalui Restorative Justice. Tahun 2021 mencatat 22 kasus, 2022 hanya 1 kasus, dan 2023 kembali meningkat menjadi 14 kasus. Proses damai biasanya melibatkan pemberian ganti rugi dan uang duka kepada keluarga korban, disertai kesepakatan tertulis yang diketahui perangkat desa setempat.

Penelitian ini menyoroti salah satu contoh kasus pada Maret 2022, ketika seorang pengendara motor sport menabrak korban yang hendak menyeberang, menyebabkan korban meninggal dunia. Kedua belah pihak kemudian dimediasi oleh Unit Laka Lantas. Karena keluarga korban telah mengikhlaskan dan menerima santunan sesuai kesepakatan, kasus tersebut dihentikan penyidikannya. Surat perdamaian dibuat, disahkan, dan dicatat sebagai penyelesaian perkara berbasis Restorative Justice.

Andrian menjelaskan bahwa penerapan mediasi pidana seperti ini lahir dari pertimbangan kemanusiaan dan nilai kekeluargaan yang kuat di masyarakat. Dalam banyak kasus, keluarga korban lebih mengutamakan musyawarah dan pemulihan hubungan sosial dibanding menuntut hukuman maksimal. Pandangan ini sejalan dengan konsep keadilan restoratif yang memfokuskan pada pemulihan kerugian, tanggung jawab pelaku, dan rekonsiliasi antara pihak yang berkonflik.

Namun, penelitian ini juga menegaskan adanya problem yuridis. Karena Restorative Justice untuk kasus hilangnya nyawa tidak sepenuhnya sejalan dengan ketentuan formal, praktik ini berpotensi menimbulkan perdebatan terkait kepastian hukum dan rasa keadilan bagi korban. Tantangan lain adalah menentukan besaran ganti rugi yang adil, menghindari konflik kepentingan, serta memastikan kesepakatan benar-benar sukarela tanpa paksaan.

Metode penelitian yang digunakan adalah normatif-empiris, memadukan studi literatur dan wawancara langsung dengan anggota Unit Laka Lantas. Hasilnya menunjukkan bahwa di tingkat lapangan, aparat kepolisian kadang menggunakan diskresi hukum untuk mengedepankan penyelesaian damai demi menghindari proses pengadilan yang panjang. Diskresi ini didasari pertimbangan bahwa kecelakaan lalu lintas umumnya terjadi akibat kelalaian (culpa), bukan niat jahat.

Penelitian ini menyimpulkan bahwa meski bertentangan dengan batasan formal, Restorative Justice tetap diterapkan di Polres Magelang Kota untuk kasus kecelakaan maut dengan syarat-syarat tertentu: tidak ada unsur kesengajaan, kedua pihak sepakat berdamai, ganti rugi diberikan, dan tidak menimbulkan keresahan masyarakat.

Temuan ini memunculkan dua pesan penting. Pertama, di tataran praktis, nilai kekeluargaan dan kemanusiaan masih memegang peranan kuat dalam penyelesaian perkara pidana di daerah. Kedua, ada kebutuhan untuk meninjau ulang kerangka hukum agar bisa mengakomodasi realitas sosial tanpa mengorbankan prinsip keadilan.

Melalui studinya, Andrian berharap hasil penelitian ini dapat menjadi masukan bagi pembuat kebijakan dan aparat penegak hukum dalam memperjelas batasan serta prosedur Restorative Justice untuk kecelakaan lalu lintas yang menyebabkan kematian. Ia menekankan pentingnya pedoman yang jelas, agar praktik mediasi pidana bisa berjalan transparan, akuntabel, dan benar-benar berorientasi pada pemulihan, bukan sekadar jalan pintas menghindari peradilan. (ed. Sulistya NG)

Sumber : repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut