Magelang, 3 September 2025 – Di tengah derasnya arus globalisasi, pendidikan tidak hanya dituntut melahirkan generasi berilmu, melainkan juga berkarakter. Inilah yang coba dikupas oleh Halim Mukhtar, mahasiswa Program Studi Pendidikan Agama Islam Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya yang selesai pada tahun 2022, Halim menyoroti peran penting Majelis Pendidikan Dasar dan Menengah (Dikdasmen) Pimpinan Cabang Muhammadiyah Kecamatan Secang dalam menanamkan ideologi Muhammadiyah di sekolah dan madrasah.
Tema besar penelitian ini adalah optimalisasi pembinaan ideologi Muhammadiyah. Bagi Halim, Muhammadiyah bukan hanya organisasi sosial keagamaan, melainkan gerakan dakwah dan tajdid (pembaruan) yang sudah mewarnai pendidikan bangsa lebih dari seabad. Maka, sekolah-sekolah Muhammadiyah, terutama di tingkat dasar dan menengah, harus menjadi garda depan dalam menanamkan nilai-nilai Islam berkemajuan sesuai spirit Muhammadiyah.
Penelitian ini dilakukan dengan pendekatan kualitatif melalui metode penelitian lapangan (field research). Data dikumpulkan lewat wawancara, observasi, serta dokumentasi. Narasumber penelitian mencakup pimpinan cabang Muhammadiyah, ketua majelis Dikdasmen, hingga kepala sekolah dari tujuh lembaga pendidikan Muhammadiyah di wilayah Secang. Data kemudian dianalisis dengan metode deskriptif kualitatif, sehingga mampu menggambarkan realitas pembinaan ideologi di lapangan.
Dari latar belakang masalah, Halim mengajukan dua pertanyaan pokok: Bagaimana pelaksanaan pembinaan ideologi Muhammadiyah di sekolah dan madrasah? dan apakah fungsi majelis Dikdasmen telah berjalan dengan baik?. Tujuan utama penelitian ini adalah menjawab kedua pertanyaan tersebut, sekaligus memberikan gambaran konkret tentang kekuatan maupun tantangan pembinaan ideologi di lingkup pendidikan Muhammadiyah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pembinaan ideologi Muhammadiyah di PCM Secang berjalan relatif baik. Majelis Dikdasmen menerapkan lima bentuk utama pembinaan. Pertama, pembinaan keislaman, melalui pelajaran Al-Islam dan Kemuhammadiyahan, kegiatan Hizbul Wathan, Tapak Suci, serta pembiasaan ibadah. Kedua, pembinaan jiwa persyarikatan, misalnya melalui pengajian rutin, kajian tematik, hingga memperkenalkan lagu-lagu Muhammadiyah yang sarat makna perjuangan. Ketiga, pembinaan keilmuan dan wawasan, yang dilakukan dengan pelatihan, diklat, serta keikutsertaan dalam berbagai lomba seperti Qiraah dan Guru Berprestasi. Keempat, pembinaan kepemimpinan dan manajemen, di antaranya lewat forum Musyawarah Kerja Kepala Sekolah (MKKS) di tingkat kecamatan. Kelima, pembinaan penguasaan teknologi dan informasi, misalnya dengan pelatihan guru melalui Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) dan pertemuan rutin selapanan.
Tidak hanya berhenti pada bentuk pembinaan, Halim juga menemukan bahwa implementasi ideologi ini dijalankan melalui tiga jalur pendidikan: formal, nonformal (upgrading dan training), serta informal. Pendidikan formal diwujudkan lewat keberadaan tujuh lembaga Muhammadiyah di Secang, mulai dari SD hingga SMA/SMK. Sementara jalur nonformal tampak pada kegiatan Baitul Arqam dan pelatihan guru, sedangkan jalur informal melalui pembiasaan di lingkungan sekolah maupun rumah.
Namun, penelitian ini juga menyingkap sejumlah problem. Tingkat kehadiran guru dalam kegiatan persyarikatan masih rendah, sebagian pendidik belum mengikuti pelatihan kaderisasi seperti Baitul Arqam, serta adanya aktivitas sekolah yang belum sepenuhnya mencerminkan nuansa khas Muhammadiyah. Di samping itu, perencanaan pembinaan ideologi oleh majelis Dikdasmen dinilai masih perlu penyusunan yang lebih rapi.
Meski demikian, Halim menyimpulkan bahwa fungsi Majelis Dikdasmen telah berjalan cukup baik sebagai penggerak pembinaan ideologi Muhammadiyah. Penelitian ini sekaligus memberi manfaat praktis bagi pimpinan Muhammadiyah di Secang, yakni menjadi bahan evaluasi dan monitoring atas kinerja majelis dalam mengawal pendidikan. Lebih jauh, hasil penelitian ini juga dapat menjadi referensi penting bagi peneliti selanjutnya yang ingin mendalami optimalisasi peran persyarikatan di bidang pendidikan.
Dengan temuan tersebut, skripsi karya Halim Mukhtar tidak hanya berhenti sebagai syarat kelulusan, tetapi juga menjadi kontribusi nyata dalam penguatan karakter pendidikan Muhammadiyah. Melalui kajian ini, ia mengingatkan bahwa pembinaan ideologi bukan sekadar rutinitas formal, melainkan upaya berkelanjutan untuk melahirkan kader bangsa yang berilmu, berakhlak, dan berkomitmen pada perjuangan Islam berkemajuan. (ed: noviyanti)
sumber : repository UNIMMA