Mengubah Limbah Kulit Ketela Menjadi Bahan Bakar Padat Ramah Lingkungan
15 August 2025

mimin

Magelang, 15 Agustus 2025 — Ketika harga bahan bakar fosil terus merangkak naik dan cadangannya kian menipis, berbagai pihak mencari solusi energi alternatif yang terbarukan dan ramah lingkungan. Salah satu terobosan menarik datang dari penelitian mahasiswa Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Magelang, Iftikar Flour Nadhif, yang berhasil memanfaatkan limbah kulit ketela menjadi bahan bakar padat berkualitas melalui proses torefaksi berbasis gelombang mikro.

Penelitian ini lahir dari kenyataan bahwa Magelang, salah satu daerah penghasil ketela terbesar di Jawa Tengah, memproduksi sekitar 49 ribu ton ketela per tahun. Dari jumlah tersebut, sekitar 16% menjadi limbah kulit ketela—setara hampir 8 ribu ton setiap tahun. Selama ini, limbah ini sebagian besar terbuang percuma. Padahal, kandungan karbonnya yang tinggi membuatnya sangat potensial sebagai bahan baku energi biomassa.

Iftikar menjelaskan, metode torefaksi adalah proses pemanasan biomassa pada suhu 200–300°C tanpa oksigen, yang mampu meningkatkan nilai kalor biomassa hingga setara dengan batubara. “Tujuan penelitian ini adalah menguji apakah briket kulit ketela yang dihasilkan bisa memenuhi standar SNI No.1/6235/2000,” ujarnya. Standar ini mengatur kualitas briket berdasarkan kadar air, kadar abu, kadar zat menguap (volatile matter), kadar karbon, dan nilai kalor.

Penelitian dilakukan dengan tiga variabel utama: variasi suhu (200°C, 250°C, dan 300°C), variasi waktu pemanasan (30 menit, 45 menit, dan 60 menit), serta variasi power level microwave (defrost, medium low, dan medium). Hasil yang diperoleh cukup mengejutkan dan membuka peluang pemanfaatan limbah pertanian secara lebih optimal.

Pada uji variasi suhu, ditemukan bahwa suhu 250°C dan 300°C menghasilkan briket yang memenuhi semua parameter SNI. Suhu 300°C mencatat nilai kalor tertinggi, yaitu 5.680 kal/gr, melampaui batas minimal 5.000 kal/gr yang disyaratkan. Meski demikian, suhu ini juga menghasilkan massa arang yang lebih sedikit akibat penguapan yang lebih besar.

Sementara itu, pada variasi waktu, hasil terbaik justru diperoleh pada durasi 30 dan 45 menit. Waktu 30 menit memberikan nilai kalor tertinggi, yaitu 5.692 kal/gr, menunjukkan bahwa pemanasan lebih lama tidak selalu berarti kualitas lebih baik. Durasi 60 menit justru menurunkan nilai kalor di bawah standar.

Untuk variasi power level, hasil menarik terlihat pada pengaturan medium low. Meskipun tidak menghasilkan massa arang terbanyak, pengaturan ini memberikan nilai kalor yang memenuhi standar SNI, berbeda dengan power level defrost atau medium yang nilainya di bawah ambang batas.

Secara umum, penelitian ini menegaskan bahwa kualitas briket tidak hanya dipengaruhi oleh satu faktor, melainkan kombinasi tepat antara suhu, waktu, dan daya pemanasan. Hasil terbaik untuk produksi briket kulit ketela sesuai SNI diperoleh pada kombinasi suhu 250°C, durasi 30–45 menit, dan power level medium low.

Keunggulan metode ini adalah penggunaan microwave yang mempercepat proses torefaksi dibandingkan metode konvensional. Waktu yang dibutuhkan untuk mencapai suhu reaksi lebih singkat, energi yang digunakan lebih efisien, dan produk yang dihasilkan memiliki kadar air rendah serta sifat yang lebih sulit menyerap kelembapan.

Selain itu, briket hasil torefaksi kulit ketela ini berpotensi menjadi sumber energi alternatif yang ramah lingkungan. Dengan memanfaatkan limbah pertanian yang selama ini terbuang, teknologi ini tidak hanya mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil, tetapi juga membantu mengurangi pencemaran lingkungan akibat penumpukan limbah organik.

Penelitian ini membuka peluang besar untuk penerapan skala industri, khususnya di daerah penghasil ketela. Jika teknologi ini diterapkan secara luas, ribuan ton limbah kulit ketela dapat diubah menjadi energi setiap tahunnya. Hal ini tentu akan memberikan manfaat ekonomi bagi produsen ketela sekaligus kontribusi positif terhadap ketahanan energi nasional.

“Harapannya, hasil penelitian ini bisa menjadi dasar pengembangan teknologi pengolahan limbah kulit ketela di tingkat masyarakat dan industri, sehingga limbah pertanian bisa memiliki nilai tambah tinggi,” tutup Iftikar.

Dengan semakin mendesaknya kebutuhan energi terbarukan, inovasi seperti ini menjadi bukti bahwa solusi sering kali ada di sekitar kita—bahkan pada limbah yang selama ini dianggap tidak berguna. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut