Magelang, 13 Agustus 2025 – Dunia konstruksi modern tak bisa dilepaskan dari teknologi pengelasan. Dari pembuatan kapal hingga jembatan raksasa, las menjadi tulang punggung penyambungan logam. Namun, di balik percikan api dan suara berdesing, ada masalah yang kerap menghantui para welder: deformasi atau perubahan bentuk pada logam hasil las.
Masalah ini tidak hanya mengganggu estetika, tetapi juga bisa mengurangi presisi dan kekuatan struktur. Berangkat dari keresahan itu, Muhammail, mahasiswa Program Studi Teknik Mesin Universitas Muhammadiyah Magelang, melakukan penelitian yang mencoba menawarkan solusi sederhana namun potensial: mengontrol suhu interpass.
Apa itu suhu interpass?
Suhu interpass adalah suhu logam setelah satu lapisan las selesai dan sebelum lapisan berikutnya dimulai. Dalam praktiknya, suhu ini bisa diatur dengan menunggu pendinginan alami atau dengan bantuan alat pendingin. Teorinya, suhu yang tepat dapat mengurangi tegangan termal berlebih yang menjadi penyebab utama deformasi.
Muhammail merancang eksperimen menggunakan baja ASTM A36, salah satu jenis baja karbon rendah yang banyak digunakan dalam konstruksi. Proses pengelasan dilakukan dengan metode Shielded Metal Arc Welding (SMAW), atau yang dikenal sebagai las busur listrik dengan elektroda terbungkus.
Tiga variasi suhu interpass diuji: 75°C, 100°C, dan 150°C. Masing-masing variasi diaplikasikan pada tiga spesimen, sehingga total ada sembilan spesimen uji. Selain mengukur deformasi, penelitian ini juga menguji kekuatan impak atau ketangguhan logam terhadap benturan, menggunakan metode uji impak Charpy.
Dari hasil pengukuran deformasi, ditemukan tren yang cukup jelas:
-
75°C menghasilkan deformasi rata-rata terkecil, yaitu 2,2°.
-
100°C menghasilkan deformasi rata-rata 3,5°.
-
150°C menghasilkan deformasi rata-rata terbesar, 4°.
Artinya, semakin rendah suhu interpass, semakin kecil pula risiko deformasi. Secara praktis, menunggu logam mendingin lebih lama sebelum melanjutkan pengelasan bisa menjadi strategi sederhana untuk menjaga bentuk material.
Namun, cerita tidak berhenti di situ. Ketika beralih ke pengujian ketangguhan impak, hasilnya sedikit berbeda.
-
Kekuatan impak tertinggi diperoleh pada 100°C, dengan nilai rata-rata 211,79 Joule/cm².
-
75°C sedikit di bawahnya, dengan 208,60 Joule/cm².
-
150°C justru menjadi yang terendah, hanya 183,16 Joule/cm².
Menariknya, spesimen dengan 75°C dan 100°C menunjukkan patahan campuran—gabungan sifat getas dan ulet—yang cenderung lebih baik untuk ketangguhan. Sementara itu, 150°C menghasilkan patahan getas murni, yang biasanya dihindari karena lebih rentan terhadap kerusakan mendadak.
Implikasi bagi dunia industri
Temuan ini membuka peluang baru bagi industri pengelasan. Metode pengendalian suhu interpass bisa menjadi alternatif menggantikan teknik tradisional seperti penggunaan backing plate (pelat penyangga sementara). Selain menghemat material dan menghindari kerusakan permukaan akibat las penahan, metode ini juga relatif mudah diterapkan tanpa peralatan tambahan yang rumit.
Namun, ada kompromi yang harus diterima. Pendinginan hingga suhu rendah seperti 75°C akan memperpanjang waktu pengerjaan. Dalam proyek besar, ini berarti produktivitas bisa menurun. Oleh karena itu, industri perlu mempertimbangkan keseimbangan antara kualitas hasil las dan efisiensi waktu kerja.
Muhammail juga menyarankan penelitian lanjutan dengan spesimen yang lebih tebal dan jenis elektroda berbeda, untuk mengetahui apakah tren ini berlaku secara umum atau hanya pada kondisi tertentu.
Secara teori, hasil penelitian ini sejalan dengan literatur pengelasan yang menyebutkan bahwa heat input dan siklus termal sangat mempengaruhi deformasi dan sifat mekanik logam. Semakin lama logam berada pada suhu tinggi, semakin besar potensi regangan dan perubahan struktur mikro yang bisa menurunkan ketangguhan.
Kontrol suhu interpass berperan sebagai “rem” terhadap proses tersebut. Pada suhu yang terlalu tinggi, pendinginan melambat sehingga butir kristal logam cenderung membesar, membuatnya lebih rapuh. Sebaliknya, pendinginan yang terlalu cepat bisa meningkatkan tegangan sisa. Nilai 100°C tampaknya menjadi titik tengah yang menghasilkan kombinasi deformasi yang masih dapat diterima dan ketangguhan yang optimal.
Penelitian ini menegaskan bahwa suhu interpass adalah variabel penting dalam pengelasan multi-pass, khususnya pada baja ASTM A36 dengan metode SMAW. Jika prioritas utama adalah meminimalkan deformasi, pilihannya jatuh pada 75°C. Jika yang diutamakan adalah ketangguhan sambungan, 100°C bisa menjadi pilihan bijak. Sementara itu, 150°C sebaiknya dihindari karena menghasilkan deformasi terbesar dan ketangguhan terendah.
Dengan temuan ini, dunia pengelasan punya satu lagi alat sederhana untuk meningkatkan kualitas sambungan logam. Mungkin tak spektakuler seperti robot las otomatis, tapi dalam industri yang menghargai presisi dan keandalan, sedikit pengaturan suhu bisa membuat perbedaan besar. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA