Magelang, 15 Agustus 2025 – Kurikulum Merdeka yang dicanangkan pemerintah sejak 2022 diharapkan menjadi terobosan besar dalam dunia pendidikan. Dengan menempatkan siswa sebagai pusat pembelajaran dan guru sebagai fasilitator, kurikulum ini menawarkan keleluasaan bagi peserta didik untuk mengeksplorasi minat, bakat, dan kemandirian mereka. Namun, sebuah penelitian terbaru yang dilakukan oleh Urmilla Fakhrun Nisaa, mahasiswa Psikologi Universitas Muhammadiyah Magelang, mengungkap kenyataan yang cukup mengejutkan: tingkat keterlibatan siswa, atau student engagement, khususnya di SMPN 11 Magelang, masih jauh dari optimal.
Penelitian ini berfokus pada siswa kelas 7 dan 8, yang sejak awal telah menerapkan Kurikulum Merdeka. Tujuan utamanya adalah menganalisis sejauh mana siswa terlibat dalam pembelajaran, serta mengidentifikasi faktor-faktor yang memengaruhi keterlibatan tersebut. Penelitian dilakukan menggunakan metode kualitatif dengan Focus Group Discussion (FGD) yang melibatkan 10 siswa dan 7 guru.
Ada dua sasaran utama yang ingin dicapai peneliti. Pertama, memotret secara jelas bagaimana gambaran student engagement siswa kelas 7 dan 8 SMPN 11 Magelang dalam konteks pembelajaran Kurikulum Merdeka. Kedua, mengidentifikasi faktor-faktor yang berperan dalam meningkatkan maupun menghambat keterlibatan siswa. Peneliti berharap temuan ini bisa menjadi masukan berharga bagi pihak sekolah, guru, dan pemangku kebijakan pendidikan, terutama dalam mengoptimalkan penerapan Kurikulum Merdeka.
Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa secara umum, keterlibatan siswa di SMPN 11 Magelang masih belum baik, terutama pada aspek behavioral engagement (partisipasi perilaku) dan cognitive engagement (keterlibatan kognitif). Meski begitu, aspek emotional engagement (keterlibatan emosional) tergolong baik—artinya secara emosional, siswa merasa cukup nyaman dan antusias dalam beberapa kegiatan.
Salah satu sorotan menarik adalah perbedaan sikap siswa dalam kegiatan Proyek Penguatan Profil Pelajar Pancasila (P5). Beberapa siswa menunjukkan sikap aktif, mengambil peran dominan dalam pengerjaan proyek, dan berpartisipasi penuh dalam diskusi. Namun, sebagian lainnya cenderung pasif—bahkan ada yang hanya menonton atau “menitipkan nama” pada tugas kelompok. Guru mengonfirmasi fenomena ini, menyebutkan bahwa masih ada siswa yang harus diberi perintah atau “dipancing” agar mau terlibat.
Dalam hal perasaan terhadap kegiatan P5, mayoritas siswa mengaku senang, terutama saat ada kunjungan lapangan atau kegiatan praktik. Kegiatan seperti kunjungan ke Bawaslu, DPRD, Akademi Militer, atau lomba tari dinilai memberikan pengalaman baru yang berkesan. Namun, kejenuhan tetap muncul, terutama jika kegiatan dilakukan pada siang hari atau saat metode penyampaian guru terasa monoton.
Dari sisi pemahaman, sebagian siswa merasa kesulitan mengikuti materi, terutama ketika penjelasan guru terlalu cepat atau materinya tidak dipaparkan secara detail. Guru juga mencatat perbedaan tingkat pemahaman antara siswa kelas 7 dan 8; siswa kelas 8 cenderung lebih paham karena sudah lebih terbiasa dengan format P5.
Faktor-Faktor Penentu Keterlibatan
Penelitian ini mengidentifikasi sejumlah faktor yang memengaruhi student engagement di SMPN 11 Magelang. Faktor positif yang mampu meningkatkan keterlibatan antara lain:
-
Metode ajar guru: Kreativitas guru dalam merancang pembelajaran yang variatif dan menyenangkan terbukti meningkatkan minat siswa.
-
Sarana dan prasarana yang memadai: Fasilitas yang baik mendukung kelancaran pembelajaran dan kegiatan P5.
-
Teman sebaya: Lingkungan pertemanan yang positif dapat memicu siswa lain untuk ikut aktif.
Sebaliknya, faktor penghambat meliputi:
-
Ketidakmandirian siswa dalam belajar: Banyak siswa yang masih bergantung pada arahan guru atau teman dalam mengerjakan tugas.
-
Metode ajar guru yang monoton: Pendekatan mengajar yang kurang variatif membuat siswa cepat bosan.
-
Kurangnya dukungan orang tua: Minimnya keterlibatan orang tua dalam proses belajar anak berpengaruh langsung terhadap motivasi belajar.
-
Sarana prasarana yang kurang memadai pada beberapa kegiatan juga menjadi kendala.
Hasil penelitian ini memberikan gambaran jelas bahwa keberhasilan Kurikulum Merdeka tidak hanya bergantung pada desain kurikulum itu sendiri, tetapi juga pada kesiapan seluruh ekosistem pendidikan—guru, siswa, orang tua, dan fasilitas sekolah. Dukungan guru, baik secara akademik maupun interpersonal, menjadi faktor dominan yang mampu mendorong keterlibatan siswa.
Temuan ini menjadi alarm bagi sekolah dan guru untuk lebih kreatif dalam metode mengajar, serta bagi orang tua untuk lebih aktif memberikan dukungan belajar di rumah. Dengan kolaborasi yang kuat, tujuan mulia Kurikulum Merdeka untuk menciptakan pelajar yang mandiri, kreatif, dan berdaya saing global bukanlah hal yang mustahil. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA