Magelang 28 Agustus 2025 – Di balik jeruji besi Lapas Kelas II A Magelang, tersimpan banyak kisah yang jarang terungkap ke permukaan. Tidak hanya tentang hukuman, tetapi juga tentang bagaimana para narapidana memandang dirinya sendiri setelah berulang kali terjerat kasus hukum. Inilah yang coba dikupas oleh Sifa Afifah, mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Humaniora, Universitas Muhammadiyah Magelang, lewat penelitian skripsinya berjudul “Konsep Diri Narapidana Residivis di Lapas Kelas II A Magelang”.
Penelitian ini lahir dari keprihatinan atas fenomena residivisme yang masih tinggi. Meski tujuan lembaga pemasyarakatan adalah membina, sebagian narapidana kembali melakukan tindak pidana usai bebas. Mereka yang mengulangi perbuatannya dikenal dengan istilah “residivis.” Sifa menyoroti bahwa kasus semacam ini bukan hanya soal hukum, tetapi juga berkaitan erat dengan konsep diri, yaitu bagaimana individu menilai, memahami, dan memandang dirinya sendiri.
Lewat pendekatan kualitatif deskriptif, Sifa Afifah melakukan wawancara mendalam dengan beberapa narapidana residivis. Salah satunya adalah subjek berinisial UP, seorang pria 27 tahun yang pernah dua kali menjalani hukuman, mulai dari kasus pencurian dan kekerasan hingga narkotika dan peredaran ilegal. Melalui kisahnya, penelitian ini berusaha menggali dinamika psikologis yang melatarbelakangi perilaku berulang tersebut.
Hasil penelitian menunjukkan, konsep diri para residivis ternyata tidak selalu negatif. Dalam beberapa aspek, mereka masih mampu memandang dirinya dengan keyakinan positif, misalnya memiliki keinginan untuk berubah, berwirausaha, hingga harapan agar diterima kembali oleh keluarga. Namun, di sisi lain, tekanan stigma sosial membuat sebagian dari mereka menilai diri secara pesimis, rendah diri, bahkan merasa tidak berharga.
Sifa menemukan ada sejumlah faktor penting yang membentuk konsep diri residivis. Lingkungan pertemanan misalnya, terbukti sangat memengaruhi pilihan hidup subjek. UP mengaku terjerumus lebih jauh ke dunia kriminal karena merasa dihargai di lingkaran pertemanannya, sementara masyarakat umum justru memberi label negatif yang membuatnya terasing. Hubungan keluarga yang renggang juga memperburuk kondisi psikologisnya.
Selain itu, pengalaman di dalam lapas juga ikut memberi warna. Bagi sebagian narapidana, bertemu sesama penghuni yang mengalami hal serupa menimbulkan rasa “tidak sendirian.” Hal ini membentuk konsep diri yang unik: mereka tidak merasa buruk karena orang lain di sekitarnya juga melakukan kesalahan yang sama. Konsep diri seperti ini dapat memberi rasa percaya diri, namun ironisnya juga dapat menormalisasi perilaku menyimpang.
Penelitian ini menegaskan bahwa konsep diri residivis bersifat dinamis. Dengan intervensi yang tepat, baik dari pihak lapas, keluarga, maupun masyarakat, konsep diri negatif bisa diarahkan menjadi positif. Dukungan emosional, bimbingan keterampilan, serta kesempatan untuk kembali diterima di lingkungan sosial akan sangat menentukan apakah seorang residivis mampu bangkit atau kembali terjerat lingkaran kejahatan.
Dalam kesimpulannya, Sifa Afifah menekankan bahwa upaya pembinaan narapidana tidak bisa berhenti pada aspek hukum semata. Aspek psikologis, khususnya pembentukan konsep diri positif, harus menjadi perhatian serius. Dengan cara itu, tujuan lembaga pemasyarakatan untuk melahirkan individu yang benar-benar siap kembali ke masyarakat bisa tercapai.
Penelitian ini bukan hanya memberi kontribusi bagi dunia akademik psikologi, tetapi juga menjadi cermin bagi masyarakat luas. Kita diingatkan bahwa residivis bukan semata “penjahat kambuhan,” melainkan individu yang masih bisa berubah jika diberi ruang. Label negatif yang terus dilekatkan hanya akan memperkuat lingkaran residivisme.
Karya Sifa Afifah menegaskan bahwa harapan perubahan selalu ada, bahkan bagi mereka yang berkali-kali jatuh. Yang dibutuhkan hanyalah sinergi: pembinaan yang manusiawi dari lapas, dukungan tulus dari keluarga, dan penerimaan yang bijak dari masyarakat.
Lewat penelitian ini, suara dari balik jeruji disuarakan ke ruang publik. Bahwa di balik identitas seorang residivis, masih ada pribadi yang berjuang menemukan kembali harga diri dan arah hidupnya. (ed : noviyanti)
sumber : repository UNIMMA