Magelang, 03 September 2025 – Upaya meningkatkan mutu pendidikan dasar kembali mendapat sorotan melalui sebuah penelitian yang dilakukan oleh Erlina Dwi Astuti, mahasiswa Program Studi Pendidikan Guru Sekolah Dasar Universitas Muhammadiyah Magelang. Penelitiannya berfokus pada penerapan model pembelajaran Children Learning In Science (CLIS) berbasis Multiple Intelligences dan pengaruhnya terhadap keterampilan proses sains siswa kelas V di SD Muhammadiyah 1 Alternatif Kota Magelang.
Penelitian ini lahir dari keprihatinan terhadap kondisi pembelajaran IPA di sekolah dasar yang masih didominasi metode ceramah dan hafalan. Guru cenderung menjadi pusat kegiatan belajar, sementara siswa kurang dilibatkan secara aktif dalam proses menemukan konsep. Akibatnya, banyak siswa yang kesulitan mengembangkan keterampilan sains, terutama dalam aspek mengamati, mengukur, mengklasifikasi, memprediksi, mengkomunikasikan, hingga menarik kesimpulan. Erlina memandang kondisi ini sebagai masalah serius yang harus dicarikan solusi inovatif.
Berangkat dari hal itu, ia mengajukan hipotesis bahwa penerapan CLIS berbasis Multiple Intelligences dapat meningkatkan kemampuan proses sains siswa. Model ini menekankan peran aktif siswa dalam membangun gagasan berdasarkan pengalaman dan kecerdasan majemuk yang dimiliki. Dengan pendekatan ini, siswa diharapkan tidak hanya menghafal konsep, melainkan memahami, menguji, dan mempraktikkannya secara nyata melalui eksperimen.
Penelitian yang dilakukan pada tahun ajaran 2021/2022 ini menggunakan metode eksperimen kuantitatif dengan desain one group pretest-posttest. Subjek penelitian dipilih sebanyak 20 siswa kelas V melalui teknik purposive sampling, mewakili populasi 169 siswa. Data diperoleh menggunakan tes uraian sebanyak 20 butir soal yang mengukur enam aspek keterampilan proses sains. Uji validitas dan reliabilitas instrumen dilakukan dengan bantuan program IBM SPSS 26, dan analisis data menggunakan uji statistik Paired Sample T-Test.
Hasil penelitian menunjukkan perubahan signifikan pada keterampilan sains siswa setelah penerapan model CLIS berbasis Multiple Intelligences. Rata-rata nilai pretest siswa sebelum diberi perlakuan hanya 59,80, dengan mayoritas masih berada pada kategori “cukup”. Setelah dilakukan tiga kali perlakuan pembelajaran, nilai rata-rata posttest meningkat menjadi 82,95 yang masuk kategori “baik”. Uji T memperkuat hasil tersebut dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05, menandakan hipotesis nol ditolak dan hipotesis penelitian diterima. Dengan kata lain, model CLIS berbasis Multiple Intelligences terbukti berpengaruh positif terhadap keterampilan proses sains.
Melalui temuan ini, Erlina menegaskan bahwa pembelajaran IPA seharusnya tidak hanya identik dengan menghafal teori, melainkan melibatkan variasi metode, seperti eksperimen sederhana yang memanfaatkan potensi kecerdasan majemuk anak. “Dengan CLIS, siswa bisa lebih aktif, terlibat dalam pengamatan, diskusi, hingga pemecahan masalah nyata. Guru pun dituntut lebih kreatif dalam merancang pembelajaran yang kontekstual,” tulisnya dalam kesimpulan.
Manfaat dari penelitian ini dirasakan pada berbagai level. Bagi siswa, metode ini melatih keterlibatan aktif, menumbuhkan rasa ingin tahu, dan memperkuat pemahaman konsep melalui praktik. Bagi guru, hasil penelitian ini menjadi bahan refleksi penting bahwa inovasi metode sangat dibutuhkan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran. Sementara bagi sekolah, penerapan CLIS berbasis Multiple Intelligences dapat menjadi strategi untuk mendorong siswa lebih terampil dalam sains, sekaligus meningkatkan reputasi akademik.
Erlina juga menyampaikan saran untuk penelitian lanjutan agar dilakukan dengan jumlah subjek yang lebih besar dan rentang waktu lebih panjang, sehingga hasil yang diperoleh lebih komprehensif. Namun, ia yakin temuan awal ini sudah cukup memberi gambaran bahwa inovasi pembelajaran mampu menjawab persoalan klasik pendidikan dasar.
Penelitian ini menegaskan satu hal penting: keberhasilan pembelajaran sains tidak hanya bergantung pada materi, melainkan juga pada metode yang digunakan. CLIS berbasis Multiple Intelligences membuka peluang bagi siswa untuk belajar sains dengan cara yang lebih menyenangkan, bermakna, dan memberdayakan. Bagi dunia pendidikan dasar di Indonesia, model ini bisa menjadi salah satu jalan keluar untuk melahirkan generasi muda yang tidak hanya cerdas menghafal, tetapi juga piawai mengamati, menganalisis, dan berpikir kritis. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA