Magelang, 4 September 2025 – Persoalan kesehatan jiwa di lembaga pemasyarakatan menjadi isu yang kerap luput dari perhatian publik. Padahal, kondisi mental narapidana yang terganggu tidak hanya berbahaya bagi dirinya sendiri, tetapi juga berpotensi memicu konflik di dalam lapas. Hal ini mendorong Muhammad Hafidh Wisaksono (NPM: 19.0201.0010), mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, melakukan penelitian berjudul “Implementasi Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa (Studi Kasus Narapidana di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA Magelang)”.
Tema Penelitian
Tema utama penelitian ini adalah penerapan hak-hak kesehatan jiwa bagi narapidana sesuai amanat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa. UU tersebut menegaskan bahwa setiap orang, termasuk warga binaan, berhak mendapatkan layanan kesehatan mental yang layak. Fokus penelitian diarahkan pada bagaimana Lapas Kelas IIA Magelang melaksanakan ketentuan tersebut, serta hambatan apa saja yang dihadapi dalam praktiknya.
Tujuan Penelitian
Wisaksono merumuskan dua tujuan pokok:
- Mengetahui implementasi UU No.18 Tahun 2014 tentang Kesehatan Jiwa terhadap narapidana di Lapas Kelas IIA Magelang.
- Mengidentifikasi faktor penghambat serta upaya penyelesaian dalam penerapan undang-undang tersebut.
Secara lebih luas, penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan bagi pengembangan hukum dan pelayanan publik, khususnya dalam aspek pemenuhan hak-hak narapidana di bidang kesehatan jiwa.
Hasil Penelitian
Dari hasil kajian normatif-empiris yang dilakukan, Wisaksono menemukan bahwa implementasi Undang-Undang Kesehatan Jiwa di Lapas Magelang masih jauh dari optimal.
Beberapa temuan utama antara lain:
-
Kekurangan tenaga medis jiwa. Lapas tidak memiliki psikiater yang siaga penuh 24 jam. Hal ini membuat pemantauan kesehatan mental warga binaan tidak berkesinambungan.
-
Over kapasitas penghuni. Dengan kapasitas resmi 221 orang, jumlah narapidana pernah mencapai lebih dari 600 orang. Kondisi penuh sesak ini berdampak serius pada kesehatan mental penghuni.
-
Adanya narapidana dengan gangguan jiwa. Data menunjukkan terdapat sejumlah warga binaan dengan diagnosis skizofrenia paranoid maupun katatonik. Mereka membutuhkan perawatan rutin, tetapi pelayanan masih terbatas.
-
Upaya promotif dan preventif sudah ada, tapi terbatas. Lapas memang menggelar penyuluhan, terapi kelompok, senam rutin, hingga program kesenian untuk menumbuhkan suasana kondusif. Namun, jumlah kegiatan ini tidak sebanding dengan kebutuhan riil warga binaan.
Selain itu, Wisaksono juga menyoroti hambatan utama dalam pelaksanaan UU ini:
- Minimnya tenaga medis spesialis jiwa.
- Terbatasnya fasilitas dan anggaran.
- Masalah klasik over kapasitas lapas.
- Komunikasi dan koordinasi kebijakan yang belum konsisten.
Kesimpulan
Dari penelitian ini, Wisaksono menyimpulkan bahwa hak atas kesehatan jiwa bagi narapidana di Lapas Kelas IIA Magelang belum sepenuhnya terpenuhi. Implementasi UU No.18 Tahun 2014 baru sebatas kegiatan dasar, sementara kebutuhan yang lebih mendesak—seperti layanan psikiatri intensif dan fasilitas yang memadai—belum tercapai.
Rekomendasi
Untuk memperbaiki keadaan, Wisaksono menyarankan agar pemerintah dan pihak terkait:
-
menambah tenaga medis ahli kejiwaan di lapas,
-
memperbesar alokasi anggaran kesehatan jiwa,
-
mengatasi over kapasitas dengan kebijakan kriminal yang lebih tepat, dan
-
memperkuat komunikasi antar instansi agar pelaksanaan undang-undang lebih konsisten.
Dengan langkah tersebut, diharapkan narapidana tidak hanya menjalani hukuman pidana, tetapi juga memperoleh hak dasar berupa pemulihan kesehatan mental. Sehingga, ketika bebas, mereka benar-benar siap kembali ke masyarakat sebagai individu yang sehat dan produktif. (ed: Adella)
sumber: repository UNIMMA