Magelang, 19 September 2025 — Penelitian yang dilakukan oleh Ahmad Hanif Sidqi, mahasiswa Program DIII Farmasi Universitas Muhammadiyah Magelang, menggambarkan tingkat kepuasan pasien peserta BPJS terhadap pelayanan di Apotek Sembada Sleman pada periode pengumpulan data Agustus 2021. Karya tulis ilmiah berjudul “Gambaran Tingkat Kepuasan Pasien BPJS Terhadap Pelayanan di Apotek Sembada Sleman Tahun 2021” ini mengulas kepuasan pasien melalui lima dimensi kualitas layanan kefarmasian: keandalan (reliability), daya tanggap (responsiveness), kepastian/jaminan (assurance), empati, dan bukti fisik (tangible).
Bertolak dari kerangka teori layanan publik dan model SERVQUAL, Hanif menempatkan tujuan penelitian pada dua garis besar: mengukur seberapa baik kinerja pelayanan Apotek Sembada dari perspektif pasien BPJS, serta mengetahui harapan pasien terhadap layanan kefarmasian di apotek tersebut. Metode yang dipilih bersifat deskriptif kuantitatif dengan desain survei cross-sectional; sampel yang diambil sebanyak 44 responden dari populasi sekitar 50 pasien BPJS selama periode penelitian. Instrumen utama penelitian adalah kuesioner terstruktur yang kemudian dianalisis dengan pendekatan perbandingan antara skor harapan (Y) dan skor kepuasan/kenyataan (X), serta dipetakan pada diagram kartesius untuk menentukan prioritas perbaikan layanan.
Dari aspek demografis, mayoritas responden berjenis kelamin laki-laki (61%), berusia 20–40 tahun (68%), dan berpendidikan setara SMA (59%). Komposisi pekerjaan menunjukkan dominasi karyawan swasta (34%) dan sebagian besar responden dalam kisaran usia produktif — sebuah fakta yang penting ketika menafsirkan ekspektasi dan persepsi terhadap layanan farmasi.
Hasil temuan menunjukkan gambaran umum yang positif. Secara kuantitatif, rata-rata skor harapan pasien (Y) adalah 3,5 sementara rata-rata skor kepuasan/kenyataan (X) tercatat 3,2 — menempatkan Apotek Sembada Sleman dalam kategori “memuaskan”. Pada dimensi keandalan, pasien memberi penilaian baik terhadap penjelasan penggunaan obat, dosis, serta informasi penyimpanan obat; rata-rata kepuasan dimensi ini mencapai sekitar 3,31 (X) dibandingkan harapan 3,52 (Y). Demikian pula, dimensi assurance dan empati mendapat respons positif—pasien menilai petugas farmasi dapat dipercaya, komunikatif, dan berwawasan.
Namun, peta kartesius yang dihasilkan bukan tanpa catatan. Diagram kuadran mengidentifikasi sejumlah item pada Kuadran I — prioritas utama untuk perbaikan — yang dianggap penting oleh pasien tetapi belum memuaskan pelaksanaannya. Khususnya, kecakapan teknis petugas dan keterampilan saat melayani pasien disebut sebagai aspek yang perlu ditingkatkan. Sementara itu, beberapa aspek fasilitas fisik seperti kenyamanan ruang tunggu (AC, TV) mendapatkan skor kepuasan relatif lebih rendah (X = 2,82 untuk item tertentu), meski harapan terhadap fasilitas ini juga tidak setinggi aspek klinis lainnya.
Penulis menyimpulkan bahwa meski harapan pasien tergolong tinggi, Apotek Sembada Sleman telah memberikan pelayanan yang umumnya memuaskan dan layak dipertahankan. Ia merekomendasikan agar manajemen apotek mempertahankan kekuatan yang sudah ada—termasuk kemampuan menjelaskan obat, ketepatan penyerahan obat, dan komunikasi—serta memfokuskan perbaikan pada pelatihan kecakapan petugas dan peningkatan fasilitas penunjang agar pengalaman pasien menjadi lebih nyaman. Lebih jauh, Hanif menganjurkan penelitian lanjutan dengan cakupan responden yang lebih luas (termasuk pasien non-BPJS) untuk memperoleh gambaran mutu layanan yang lebih representatif.
Dengan gaya narasi yang lugas, laporan ini menegaskan bahwa kualitas layanan kefarmasian bukan hanya soal ketersediaan obat, tetapi juga kemampuan sumber daya manusia dan lingkungan layanan yang mendukung keseluruhan pengalaman pasien. Bagi pengelola Apotek Sembada, temuan ini menawarkan peta tindakan: mempertahankan praktik baik yang diapresiasi pasien dan memperbaiki titik-titik lemah yang teridentifikasi agar layanan BPJS di apotek tersebut bisa semakin prima. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA