Perempuan, Hukum, dan Jerat Revenge Porn: Telaah Kritis Penelitian Linda Agustina
1 September 2025

Admin perpustakaan

Magelang, 01 September 2025 – Isu kekerasan berbasis gender kian mendapat sorotan di ruang publik, terutama ketika teknologi digital membuka celah baru bagi praktik-praktik yang merugikan perempuan. Salah satu fenomena yang mencuat adalah revenge porn—penyebaran konten intim tanpa persetujuan korban. Fenomena ini tidak hanya menimbulkan luka psikologis, tetapi juga menghadirkan problem hukum yang serius. Linda Agustina, seorang peneliti hukum, menyoroti isu tersebut melalui riset berjudul Legal Standing Perempuan Korban Revenge Porn dalam Hukum Pidana Indonesia.

Dalam penelitian ini, Linda mengupas tuntas bagaimana posisi hukum perempuan korban revenge porn masih lemah dan kerap kali tidak terakomodasi dengan baik dalam sistem peradilan pidana. Penelitiannya bergerak dari keprihatinan bahwa meski Indonesia memiliki perangkat hukum seperti Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), realitas di lapangan menunjukkan perlindungan korban belum optimal.

Tema utama penelitian Linda adalah perlindungan hukum terhadap perempuan korban revenge porn. Ia menyoroti bahwa perbuatan ini sejatinya tidak sekadar pelanggaran moral, melainkan juga bentuk kekerasan seksual yang berdampak panjang bagi kehidupan korban. Linda menegaskan bahwa korban berhak atas rasa aman, hak privasi, serta pemulihan psikologis—sesuatu yang sering kali luput dari perhatian aparat penegak hukum.

Tujuan penelitian ini ada dua. Pertama, untuk menganalisis legal standing perempuan korban revenge porn, yakni sejauh mana korban memiliki kedudukan hukum untuk menuntut hak-haknya. Kedua, untuk menelaah upaya hukum yang dapat ditempuh korban agar mendapatkan perlindungan dan keadilan. Dengan kata lain, penelitian ini ingin memastikan bahwa perempuan korban tidak sekadar ditempatkan sebagai obyek perkara, tetapi juga diakui sebagai subyek hukum yang memiliki hak setara.

Linda menemukan bahwa posisi korban dalam kasus revenge porn masih problematis. Undang-Undang ITE memang mengatur larangan distribusi konten bermuatan asusila, namun penerapannya sering kali lebih menitikberatkan pada pelaku, sementara hak-hak korban tidak jelas terjamin. Dalam praktik, perempuan korban justru rentan mengalami victim blaming atau bahkan dijerat balik dengan pasal kesusilaan. Situasi ini memperburuk trauma yang dialami korban.

Selain itu, Linda menyoroti bahwa aturan hukum di Indonesia belum sepenuhnya membedakan antara pornografi konvensional dengan revenge porn yang terjadi karena unsur pemaksaan atau penyalahgunaan kepercayaan. Kekosongan hukum inilah yang membuat banyak korban kesulitan memperoleh keadilan. Linda juga menegaskan bahwa konsep perlindungan korban seharusnya mencakup pendampingan psikologis, rehabilitasi sosial, dan jaminan keamanan, bukan hanya hukuman bagi pelaku.

Penelitian ini menyarankan agar regulasi di Indonesia diperkuat dengan memasukkan klausul khusus mengenai revenge porn sebagai bentuk kekerasan seksual. Linda juga menekankan pentingnya perspektif gender dalam penegakan hukum, agar aparat tidak lagi terjebak pada stigma atau bias moral terhadap korban. Perlindungan menyeluruh diperlukan—baik dari segi hukum, sosial, maupun psikologis—untuk memulihkan martabat perempuan yang dirugikan.

Di samping itu, Linda merekomendasikan adanya edukasi publik mengenai bahaya revenge porn serta kampanye untuk menghentikan praktik menyalahkan korban. Masyarakat perlu diberi pemahaman bahwa menyebarkan konten intim tanpa izin adalah kejahatan serius, bukan sekadar aib pribadi.

Melalui penelitian ini, Linda Agustina menegaskan bahwa perjuangan perempuan korban revenge porn bukan hanya soal menuntut pelaku, tetapi juga menuntut pengakuan dan perlindungan dari negara. Hukum pidana Indonesia, menurutnya, masih memiliki PR besar dalam menghadirkan keadilan yang berpihak pada korban.

Penelitian ini bukan sekadar kajian akademis, tetapi juga seruan moral agar aparat hukum dan masyarakat lebih peka terhadap penderitaan korban. Dalam era digital, di mana privasi begitu rapuh, temuan Linda menjadi pengingat bahwa hukum harus hadir untuk melindungi yang lemah, bukan malah menambah beban mereka. (ed. Sulistya NG)

Sumber: repositori UNIMMA

Bebas Pustaka

Persyaratan Unggah Mandiri dan Bebas Pustaka Wisuda periode 84 bisa di lihat pada link berikut