Magelang, 03 September 2025 – Permasalahan tenaga kerja outsourcing masih menjadi sorotan di berbagai sektor, termasuk di destinasi wisata kelas dunia, Taman Wisata Candi Borobudur. Hal itu terungkap dalam penelitian yang dilakukan oleh Kartika Ayu Anggraeni, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, melalui skripsinya berjudul “Perlindungan Hukum Tenaga Kerja Outsourcing di Taman Wisata Candi Borobudur Kabupaten Magelang.”
Penelitian ini menyoroti praktik outsourcing yang diterapkan oleh pengelola Borobudur, dengan fokus pada pemenuhan hak-hak pekerja serta hambatan perlindungan hukum yang mereka alami.
Borobudur sebagai ikon pariwisata Indonesia tak lepas dari keberadaan tenaga kerja outsourcing. Mereka mengisi banyak posisi vital, mulai dari petugas kebersihan, keamanan, hingga layanan wisata. Namun, keberadaan mereka kerap dipandang sebelah mata. Outsourcing seringkali identik dengan status kerja yang tidak menentu, upah yang minim, serta perlindungan hukum yang lemah.
Kartika mencatat bahwa banyak keputusan menyangkut nasib pekerja outsourcing hanya dibicarakan antara pengelola Borobudur dengan vendor penyedia tenaga kerja. Akibatnya, hak-hak pekerja sering tidak tersampaikan secara utuh.
Dalam penelitiannya, Kartika merumuskan dua tujuan utama. Pertama, untuk mengetahui sejauh mana hak-hak karyawan outsourcing di Borobudur terpenuhi. Kedua, untuk mengidentifikasi hambatan-hambatan yang menghalangi pelaksanaan perlindungan hukum bagi mereka .
Dengan metode penelitian yuridis normatif serta analisis kualitatif, Kartika menelaah kontrak kerja, aturan perundang-undangan, hingga hasil wawancara dengan pekerja maupun pihak pengelola.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemenuhan hak-hak pekerja outsourcing belum sepenuhnya berjalan baik. Beberapa catatan kritis antara lain:
- Upah lembur di hari libur nasional tidak diberikan sebagaimana mestinya. Sebagai gantinya, pekerja hanya menerima insentif. Contohnya pada Idul Fitri 2022, pekerja diberi insentif Rp140.000 untuk tujuh jam kerja, berdasar surat keputusan internal perusahaan.
- Cuti hamil tidak diberikan penuh, dengan alasan dana digunakan untuk menggaji tenaga pengganti.
- Pemotongan gaji sebesar 15% terjadi tanpa kejelasan kapan dana tersebut dikembalikan.
- Perlindungan terhadap kecelakaan kerja dan kesehatan masih minim. Pekerja outsourcing diminta mandiri membiayai pengobatan mereka .
Kartika menemukan dua hambatan utama:
- Regulasi yang tumpang tindih. Perjanjian kerja hanya terjadi antara pengelola Borobudur dan vendor penyedia jasa. Akibatnya, tanggung jawab sering dilempar ke vendor, sementara pengelola berpegang pada klausul kontrak. Situasi ini membuat pekerja berada di posisi yang lemah .
- Keterbatasan finansial. Pasca pandemi Covid-19, kondisi keuangan perusahaan terganggu. Ditambah beban penggabungan unit usaha lain, alokasi untuk perlindungan tenaga kerja semakin terbatas .
Meski demikian, pengelola Borobudur mencoba mencari jalan tengah. Salah satunya dengan memberikan subsidi iuran Jamsostek sebesar 5% dari total kewajiban, guna sedikit meringankan beban pekerja outsourcing .
Penelitian Kartika Ayu Anggraeni menegaskan bahwa perlindungan hukum bagi tenaga kerja outsourcing di Borobudur masih jauh dari ideal. Hak-hak dasar seperti upah lembur, cuti, dan jaminan kesehatan sering terabaikan. Hambatan regulasi dan finansial memperburuk keadaan, sehingga pekerja outsourcing tetap berada di posisi rentan.
Namun, penelitian ini juga membuka ruang bagi perbaikan. Perlunya regulasi yang lebih tegas dan transparan, serta kebijakan perusahaan yang berpihak pada kesejahteraan pekerja, menjadi catatan penting. Bagi pemerintah daerah maupun praktisi hukum, temuan ini bisa menjadi bahan evaluasi agar perlindungan tenaga kerja outsourcing tidak hanya sebatas aturan di atas kertas, tetapi benar-benar terlaksana di lapangan. (ed. Sulistya NG)
Sumber: repositori UNIMMA