Magelang, 3 September 2025 – Perdebatan mengenai hak waris anak tiri kembali mencuat setelah Mahkamah Agung mengeluarkan Putusan Nomor 489 K/AG/2011. Putusan tersebut memberikan sisa harta warisan kepada anak tiri, meski secara tegas Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf c menyebutkan bahwa anak tiri bukanlah ahli waris sah dari orang tua tirinya. Fenomena inilah yang menggelitik perhatian Raden Roro Karina Sekar Jalesveva, mahasiswi Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, untuk meneliti lebih jauh dalam skripsinya yang berjudul “Kajian Yuridis Pewarisan Anak Tiri (Studi Putusan MA RI No.489 K/AG/2011)”.
Dalam penelitian yang diselesaikan pada tahun 2022 itu, Karina berangkat dari keresahan atas ketidakjelasan kedudukan hukum anak tiri dalam sistem kewarisan Islam di Indonesia. Selama ini, hukum waris di tanah air berlaku plural, yaitu hukum waris Islam, perdata, dan adat. Bagi umat Islam, aturan yang digunakan mengacu pada Al-Qur’an, hadist, serta KHI yang lahir berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun, keberadaan anak tiri dalam konteks warisan nyaris tidak diatur secara eksplisit.
Karina menyoroti adanya kontradiksi antara aturan tertulis dan putusan hakim. Di satu sisi, KHI menyatakan anak tiri tidak memiliki hubungan darah, perkawinan, ataupun status budak yang dimerdekakan—tiga syarat utama untuk bisa menjadi ahli waris. Namun di sisi lain, hakim Mahkamah Agung dalam kasus tersebut memilih untuk menyerahkan sisa harta pewaris kepada anak tiri dengan alasan memenuhi rasa keadilan.
Melalui pendekatan yuridis normatif dengan spesifikasi deskriptif-analitis, Karina menelusuri berbagai dokumen hukum, undang-undang, hingga putusan pengadilan terkait. Ia juga melakukan wawancara dengan hakim Pengadilan Agama serta ahli agama di Magelang, Mungkid, dan Temanggung. Pendekatan studi kasus dipilih agar hasil penelitian tidak hanya berhenti pada teori, melainkan mengupas secara detail latar belakang dan pertimbangan hakim dalam memutus perkara.
Tujuan utama penelitian ini, menurut Karina, adalah untuk mengetahui landasan pertimbangan hakim Mahkamah Agung dalam putusan tersebut, sekaligus menilai apakah keputusan itu benar-benar memenuhi rasa keadilan bagi para pihak yang berperkara. Selain itu, penelitian ini diharapkan memberi sumbangsih pemikiran dalam pengembangan hukum kewarisan, khususnya bagi mahasiswa dan praktisi hukum.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa secara normatif, anak tiri memang tidak memenuhi syarat untuk menjadi ahli waris sah menurut KHI. Anak tiri hanya bisa memperoleh harta dari orang tua tirinya melalui hibah, wasiat, atau wasiat wajibah, dengan ketentuan jumlahnya tidak lebih dari sepertiga harta warisan, kecuali mendapat persetujuan dari ahli waris lain. Meski begitu, hakim Mahkamah Agung tetap menggunakan ruang ijtihad untuk memberikan sisa harta kepada anak tiri, dengan pertimbangan adanya hubungan emosional dan ikatan keluarga yang kuat selama hidup bersama pewaris.
Wawancara dengan ahli agama pun menunjukkan adanya perbedaan pandangan. Sebagian menilai pemberian harta kepada anak tiri melalui wasiat wajibah dapat dibenarkan demi menjaga rasa keadilan dalam keluarga. Namun, ada pula yang menegaskan bahwa seharusnya sisa warisan diserahkan kepada lembaga zakat sebagaimana diatur dalam KHI, bukan kepada anak tiri yang tidak diakui sebagai ahli waris.
Karina akhirnya menyimpulkan bahwa putusan Mahkamah Agung dalam perkara ini tidak sepenuhnya sesuai dengan ketentuan KHI pasal 171 huruf c. Meski demikian, hakim berusaha menyeimbangkan aspek hukum dengan nilai keadilan sosial yang hidup di masyarakat. “Hakim tidak hanya menafsirkan hukum secara tekstual, tetapi juga mempertimbangkan manfaat dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat,” tulis Karina dalam kesimpulan penelitiannya.
Sebagai penutup, Karina memberikan sejumlah saran. Pertama, agar setiap pasangan yang menikah dengan duda atau janda lebih baik mengangkat anak tiri sebagai anak angkat untuk menjamin kepastian hak waris. Kedua, ia mendorong Mahkamah Agung dan Kementerian Agama segera membuat aturan lebih tegas dalam KHI terkait kedudukan anak tiri, sehingga tidak menimbulkan multi tafsir dan potensi sengketa di kemudian hari.
Penelitian ini membuka kembali diskusi panjang soal posisi anak tiri dalam hukum waris Islam di Indonesia. Melalui karyanya, Raden Roro Karina Sekar Jalesveva mengingatkan bahwa hukum tidak hanya soal teks peraturan, melainkan juga bagaimana keadilan itu dirasakan di tengah masyarakat. (ed: noviyanti)
sumber : repository UNIMMA