Magelang, 28 Agustus 2025 – sebuah kabupaten yang dikelilingi pegunungan dan perbukitan, menyimpan panorama alam nan indah. Namun di balik keelokannya, wilayah ini juga dikenal sebagai salah satu daerah paling rawan bencana di Jawa Tengah. Tanah longsor, angin kencang, banjir, hingga erupsi gunung kerap menjadi ancaman nyata bagi masyarakat. Data dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) mencatat, sejak 2020 hingga pertengahan 2023 telah terjadi ratusan kali bencana, dengan korban jiwa, kerusakan rumah, dan kerugian materi yang tidak sedikit.
Kondisi inilah yang melatarbelakangi penelitian Bintang Surya Pamungkas, mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang. Dalam skripsinya yang berjudul “Implementasi Pasal 25 Peraturan Daerah Kabupaten Magelang Nomor 3 Tahun 2014 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana dalam Memberikan Perlindungan kepada Masyarakat dari Bencana di Kabupaten Magelang”, Bintang menyoroti efektivitas aturan daerah yang secara khusus mengatur perlindungan masyarakat melalui mekanisme relokasi.
Tema dan Tujuan Penelitian
Tema utama penelitian ini adalah penanggulangan bencana melalui kebijakan relokasi permukiman. Pasal 25 Perda No. 3 Tahun 2014 memberi kewenangan kepada pemerintah daerah untuk menetapkan wilayah rawan bencana sebagai zona terlarang untuk permukiman, bahkan mencabut hak kepemilikan tanah, dengan jaminan pemberian ganti rugi sesuai peraturan perundang-undangan.
Tujuan penelitian difokuskan pada dua hal. Pertama, untuk mengetahui bagaimana implementasi pasal tersebut dijalankan oleh Pemerintah Kabupaten Magelang. Kedua, untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menghambat pelaksanaannya, sehingga relokasi sebagai instrumen perlindungan masyarakat dapat berjalan efektif.
Metode Penelitian
Bintang menggunakan metode yuridis-empiris dengan pendekatan sosiologis. Data diperoleh dari wawancara dengan pihak BPBD Kabupaten Magelang serta studi literatur dari buku, jurnal, dan penelitian terdahulu. Analisis dilakukan secara kualitatif guna memahami hubungan antara aturan hukum dan realitas sosial masyarakat di lapangan.
Hasil Penelitian: Relokasi Belum Optimal
Penelitian ini mengungkap bahwa relokasi memang menjadi salah satu solusi strategis dalam mengurangi risiko bencana. Dengan memindahkan warga dari zona rawan longsor atau banjir, diharapkan keselamatan jiwa lebih terjamin. Namun kenyataan di lapangan jauh dari ideal.
Sejumlah kasus menunjukkan, warga yang sudah pernah menjadi korban bencana tetap kembali ke lokasi semula meskipun telah disediakan rumah relokasi. Faktor emosional, keterikatan dengan tanah leluhur, serta kesulitan mencari lahan pertanian baru menjadi alasan utama. Di sisi lain, keterbatasan anggaran pemerintah membuat penyediaan hunian layak di lokasi aman tidak selalu dapat segera diwujudkan.
Selain itu, relokasi sering dipandang sebagai solusi tunggal, padahal menurut penelitian ini, relokasi bukan jawaban final. Upaya lain seperti perbaikan tata ruang, pemantauan lingkungan, pembangunan talud penahan tanah, hingga edukasi kebencanaan juga wajib dilakukan agar masyarakat dapat hidup aman dan beradaptasi dengan kondisi alam.
Hambatan Implementasi
Ada beberapa faktor penghambat yang diidentifikasi:
- Keterbatasan sumber daya – baik dari sisi anggaran, fasilitas, maupun jumlah personel BPBD.
- Kesadaran masyarakat yang rendah – banyak warga belum sepenuhnya memahami risiko jangka panjang tinggal di daerah rawan bencana.
- Kendala sosial-budaya – ikatan emosional dengan tanah asal membuat warga enggan pindah.
- Koordinasi antarinstansi yang belum maksimal – sinergi antara pemerintah daerah, desa, dan lembaga terkait masih kurang solid, sehingga implementasi pasal berjalan lambat.
Kesimpulan dan Harapan
Dari hasil penelitian, Bintang Surya Pamungkas menyimpulkan bahwa implementasi Pasal 25 Perda Kabupaten Magelang No. 3 Tahun 2014 belum berjalan optimal. Relokasi yang diamanatkan regulasi masih menghadapi berbagai hambatan, baik teknis maupun sosial.
Meski demikian, penelitian ini juga menegaskan bahwa kebijakan relokasi tetap penting sebagai salah satu instrumen perlindungan masyarakat. Dengan perencanaan matang, pemenuhan hak-hak warga, dan partisipasi aktif masyarakat, relokasi dapat menjadi jalan keluar yang efektif. Namun, ia harus didukung strategi pencegahan bencana yang komprehensif dan berkesinambungan.
Akhirnya, penelitian ini menjadi pengingat bahwa perlindungan masyarakat dari bencana tidak hanya soal aturan, tetapi juga soal keberpihakan, konsistensi, dan keberanian politik pemerintah, serta kesadaran bersama untuk menjaga keselamatan hidup. Kabupaten Magelang, dengan segala potensi dan kerawanannya, masih menanti implementasi nyata dari aturan yang sudah digariskan hampir satu dekade lalu.(ed : fatikakh)
Sumber : repositori UNIMMA