Magelang, 22 Agustus 2025 – Di tengah hiruk pikuk pendidikan inklusif yang kian menjadi perhatian, ada cerita menarik dari sebuah sekolah luar biasa (SLB) di Magelang. SLB-C YPPALB Magelang menjadi saksi bagaimana guru-guru Pendidikan Agama Islam (PAI) berjuang memberikan pelajaran tentang iman, akhlak, dan ibadah kepada anak-anak dengan kebutuhan khusus, khususnya penyandang tunagrahita.
Penelitian yang dilakukan di sekolah ini mencoba menjawab pertanyaan sederhana namun menantang: bagaimana strategi pembelajaran PAI untuk anak-anak tunagrahita? Pertanyaan itu lahir dari keprihatinan sekaligus rasa ingin tahu, sebab mengajarkan agama pada anak berkebutuhan khusus bukan sekadar soal menyampaikan materi, melainkan tentang menanamkan nilai yang bisa benar-benar mereka pahami dan praktikkan dalam kehidupan sehari-hari.
Tujuan penelitian dari ini jelas, yaitu untuk menggambarkan strategi yang digunakan guru, kendala yang dihadapi, serta upaya yang ditempuh agar pelajaran agama bisa diterima dengan baik oleh siswa. Dengan pendekatan kualitatif, peneliti mewawancarai guru, mengamati proses belajar, serta mendokumentasikan dinamika pembelajaran yang terjadi di kelas.
Hasil penelitian ini cukup menarik. Pertama, dari segi strategi pembelajaran, guru PAI di SLB-C YPPALB Magelang ternyata tidak bisa menggunakan metode yang sama seperti di sekolah umum. Mereka mengandalkan strategi pembelajaran individual, bercerita, hingga penggunaan media visual yang sederhana. Materi yang diberikan pun lebih menekankan pada hal-hal praktis dan mudah diterapkan, misalnya cara berwudhu, doa-doa pendek, hingga praktik salat berjamaah.
Kedua, penelitian menemukan bahwa guru lebih mengutamakan pengulangan (drill). Hal ini karena anak tunagrahita membutuhkan waktu lebih lama untuk memahami dan mengingat. Pengulangan tidak hanya membuat anak terbiasa, tetapi juga memberi rasa percaya diri ketika mereka berhasil melaksanakan suatu ibadah dengan benar.
Ketiga, dari sisi evaluasi, guru menggunakan cara yang fleksibel. Tidak ada ujian tulis yang kaku, melainkan lebih banyak penilaian melalui praktik langsung. Anak dinilai dari kemampuannya mengucapkan doa, melakukan gerakan salat, atau sekadar mengingat rukun iman. Dengan begitu, evaluasi bukan sekadar angka, melainkan tolok ukur sejauh mana anak mampu mempraktikkan ajaran agama dalam keseharian.
Namun, tentu saja perjalanan ini tidak tanpa hambatan. Penelitian mengungkap ada beberapa kendala besar yang dihadapi guru. Salah satunya adalah keterbatasan kemampuan kognitif anak yang membuat materi pelajaran harus sangat disederhanakan. Di sisi lain, masih ada keterbatasan fasilitas belajar, seperti media pembelajaran khusus yang seharusnya bisa membantu anak memahami pelajaran dengan lebih baik.
Kendati demikian, guru tidak menyerah. Mereka melakukan berbagai upaya untuk mengatasi kendala, mulai dari berinovasi dengan media seadanya hingga menjalin komunikasi intensif dengan orang tua. Kerja sama dengan orang tua dianggap penting, sebab pembiasaan nilai agama tidak berhenti di sekolah, melainkan harus terus dilatih di rumah.
Yang paling menyentuh dari penelitian ini adalah gambaran tentang kesabaran guru. Mengajar anak tunagrahita membutuhkan ketelatenan ekstra, bahkan berlapis-lapis. Tidak jarang guru harus mengulang materi yang sama berkali-kali dalam satu pertemuan. Namun justru di situlah letak keindahannya: ada dedikasi yang tidak kenal lelah demi menanamkan cahaya iman ke dalam hati anak-anak istimewa.
Penelitian ini akhirnya menegaskan bahwa pembelajaran PAI untuk anak tunagrahita bukan soal banyaknya materi yang disampaikan, melainkan tentang bagaimana nilai-nilai agama bisa diinternalisasikan sesuai kemampuan anak. Nilai sederhana seperti mengucapkan doa sebelum makan atau berbuat baik kepada teman sudah menjadi pencapaian luar biasa.
Dengan demikian, penelitian di SLB-C YPPALB Magelang ini membuka mata kita bahwa pendidikan agama untuk anak berkebutuhan khusus adalah ruang pembelajaran yang penuh tantangan sekaligus inspirasi. Ia mengajarkan bukan hanya kepada siswa, tetapi juga kepada kita semua: bahwa kesabaran, keikhlasan, dan ketulusan adalah inti dari pendidikan sejati. (ed. Sulistya NG)
sumber: repositori UNIMMA