Magelang, 03 September 2025 – Pandemi Covid-19 bukan hanya menguji daya tahan kesehatan masyarakat, tetapi juga memperlihatkan sisi gelap kehidupan sosial: meningkatnya kasus kekerasan terhadap anak. Fenomena ini menjadi perhatian serius seorang mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, Teguh Budi Pratomo, yang meneliti lebih dalam dalam karyanya berjudul Kajian Kriminologi Tindak Pidana Kekerasan Terhadap Anak di Masa Pandemi Covid-19.
Penelitian tersebut berangkat dari keprihatinan atas melonjaknya angka kasus kekerasan anak di Indonesia, khususnya di Magelang, selama pandemi. Berbagai pemberitaan menunjukkan bahwa pembatasan sosial, hilangnya pekerjaan, hingga perubahan pola pendidikan daring, ikut memicu ketegangan di rumah tangga. Akibatnya, anak yang seharusnya menjadi aset bangsa dan titipan Tuhan justru kerap menjadi korban pelampiasan emosi orang tua.
Tujuan Penelitian
Teguh Budi Pratomo merumuskan tiga tujuan utama dalam risetnya. Pertama, untuk mengetahui mengapa kekerasan terhadap anak meningkat selama masa pandemi. Kedua, untuk mengidentifikasi faktor-faktor penyebab orang tua atau orang dewasa melakukan tindak kekerasan. Ketiga, untuk menemukan cara penanggulangan tindak pidana kekerasan terhadap anak agar kejadian serupa bisa diminimalisir di masa mendatang.
Penelitian dilakukan dengan metode yuridis-empiris, yaitu menggabungkan pendekatan undang-undang dengan studi lapangan. Data primer diperoleh dari Pusat Pelayanan Terpadu Perlindungan Perempuan dan Anak (P2TP2A) Magelang, sedangkan data sekunder bersumber dari literatur hukum, jurnal, serta wawancara langsung dengan konselor setempat.
Fakta Lapangan
Dari hasil pengumpulan data, tercatat 49 kasus kekerasan terhadap anak terjadi di Magelang dalam rentang tahun 2018 hingga Oktober 2021. Angka ini menunjukkan peningkatan selama pandemi, memperkuat dugaan bahwa situasi luar biasa akibat Covid-19 berdampak serius pada pola relasi dalam keluarga.
Menurut hasil wawancara dengan P2TP2A, sekitar 65 persen kasus dipicu oleh masalah ekonomi, sementara 35 persen dipengaruhi oleh pembelajaran daring yang menuntut orang tua untuk mendampingi anak belajar di rumah. Tekanan pekerjaan, beban finansial, serta minimnya pemahaman orang tua tentang psikologi anak membuat emosi sering tak terkendali.
Selain faktor ekonomi dan pendidikan, pola asuh juga berperan besar. Banyak orang tua masih beranggapan bahwa anak sepenuhnya berada dalam kendali mereka, sehingga tindakan kekerasan dianggap sebagai “hak mendidik”. Padahal, menurut teori penyimpangan sosial yang dikutip Teguh dari Bruce J. Cohen, perilaku demikian jelas melanggar norma dan nilai yang berlaku di masyarakat.
Upaya Penanggulangan
Dalam temuan peneliti, menanggulangi tindak kekerasan terhadap anak tidak bisa dilakukan secara instan. Upaya harus dimulai dari lingkungan keluarga sebagai benteng pertama. Orang tua dituntut untuk memperkuat komunikasi, menciptakan suasana rumah yang kondusif, serta menyesuaikan pola asuh dengan kondisi pandemi.
Selain itu, peningkatan literasi pengasuhan anak juga menjadi kunci. Webinar parenting, diskusi komunitas, hingga pelatihan pengelolaan emosi bagi orang tua perlu digalakkan. Keterlibatan pemerintah, sekolah, hingga lembaga sosial seperti P2TP2A juga mutlak diperlukan. Mereka berperan memberi edukasi, menyediakan layanan konseling, dan melakukan sosialisasi untuk mengurangi angka kekerasan.
Manfaat Penelitian
Karya Teguh tidak hanya bermanfaat bagi dunia akademik, tetapi juga memberi sumbangsih nyata bagi masyarakat. Bagi kalangan hukum, penelitian ini memperkaya literatur mengenai hukum pidana khusus anak, terutama dalam konteks kriminologi modern. Sementara bagi masyarakat, hasil kajian ini menjadi pengingat pentingnya kasih sayang dan kesabaran dalam mendidik anak, khususnya di tengah krisis global.
Penutup
Kasus kekerasan anak selama pandemi seharusnya menjadi alarm keras bagi kita semua. Anak bukan sekadar tanggung jawab pribadi orang tua, melainkan juga aset bangsa yang harus dijaga bersama. Melalui penelitian ini, Teguh Budi Pratomo menegaskan bahwa pandemi bukan alasan untuk melegitimasi kekerasan. Justru di masa sulit, cinta dan perlindungan terhadap anak harus semakin diperkuat.
Sebagaimana ditekankan peneliti, keluarga, masyarakat, hingga negara perlu bahu membahu membangun lingkungan aman bagi anak. Sebab, dari tangan merekalah masa depan bangsa dipertaruhkan.(ed : fatikakh)
Sumber : repositori UNIMMA