Magelang, 3 September 2025 — Ketika janji menikah berhenti di atas kertas, apa nasib perjanjian pra-nikah yang sudah dibuat di hadapan notaris? Pertanyaan inilah yang menjadi fokus penelitian Walhidayat, mahasiswa hukum Universitas Muhammadiyah Magelang, dalam skripsinya yang mengkaji perjanjian perkawinan yang tidak diikuti perkawinan resmi, dengan studi kasus Putusan Nomor 10/Pdt.G/2022/PN.Kbm di Pengadilan Negeri Kebumen.
Tema penelitian yang diangkat Walhidayat masuk ke inti persoalan hukum keluarga dan perdata: kedudukan akta perjanjian kawin —sebagai akta otentik— ketika peristiwa hukum yang menjadi syarat pelaksanaan perjanjian (yaitu terjadinya perkawinan) ternyata tidak pernah terwujud. Dengan kata lain, penelitian ini mempertanyakan apakah dan bagaimana sebuah perjanjian pra-nikah dapat menimbulkan akibat hukum bila “pra”-nya tetap hanya berupa dokumen tanpa aktualisasi pernikahan.
Tujuan penelitian dirumuskan secara konkret. Walhidayat bermaksud (1) menguraikan landasan hukum yang mengatur perjanjian perkawinan dan batas-batas kekuatan mengikatnya; (2) menelaah mekanisme pembatalan atau penegasan tidak berlakunya perjanjian tersebut apabila pernikahan tidak jadi dilangsungkan; serta (3) mengevaluasi implikasi putusan pengadilan terhadap kepastian hukum para pihak dan pihak ketiga terkait. Pendekatannya normatif-doktrinal dikombinasikan dengan studi putusan dan wawancara dengan praktisi—hakim, advokat, dan notaris—sebagai kontekstualisasi.
Dari telaah regulasi dan putusan yang dianalisis, hasil penelitian Walhidayat memaparkan beberapa temuan penting. Pertama, secara substantif perjanjian kawin memang diakui dalam hukum perdata dan UU Perkawinan, namun kekuatan operasionalnya baru “hidup” bila pernikahan benar-benar terjadi. Artinya, keberadaan akta notaris—meskipun formalnya otentik—tidak otomatis menghasilkan hak dan kewajiban material yang mengikat apabila syarat faktual pelaksanaan (perkawinan) tidak terpenuhi.
Kedua, terdapat dua jalur penyelesaian ketika pernikahan batal tetapi perjanjian sudah dibuat. Jika kedua pihak sepakat, pembatalan dapat ditempuh dengan akta pembatalan di hadapan notaris sehingga status administrasi akta menjadi jelas. Namun bila muncul sengketa—misalnya ada klaim wanprestasi, rugi materiil, atau itikad tidak baik—pihak yang merasa dirugikan dapat menggugat ke pengadilan negeri. Dalam praktiknya, putusan seperti kasus di Kebumen memperlihatkan bagaimana hakim menilai unsur itikad baik, ada-tidaknya wanprestasi, dan perlunya melindungi kepastian hukum pihak ketiga.
Ketiga, penelitian menyoroti peran dan tanggung jawab notaris. Walhidayat menegaskan notaris bukan sekadar pencatat; ia memiliki kewajiban profesional untuk memeriksa kelengkapan formal dan memastikan itikad baik para pihak. Pembuatan akta tanpa kehati-hatian atau tanpa pengungkapan kondisi yang nyata berpotensi menimbulkan kerugian dan risiko tanggung jawab perdata bahkan pidana bagi notaris.
Dalam bagian rekomendasi, Walhidayat menyarankan langkah-langkah pencegahan praktis: pencantuman klausul pembatalan dan mekanisme penyelesaian sengketa dalam perjanjian pra-nikah, penjelasan implikasi hukum kepada calon pihak yang membuat akta, serta peningkatan kewaspadaan dan pemeriksaan oleh notaris atas itikad para pihak. Di tingkat yudisial, peneliti mengimbau hakim mempertimbangkan aspek formal dan materiil—termasuk asas itikad baik—ketika memutus perkara semacam ini agar kepastian hukum tetap terjaga.
Singkatnya, temuan Walhidayat menunjukkan paradoks yang perlu diwaspadai: akta perjanjian kawin memiliki kekuatan formal, tetapi kekuatan substantifnya bergantung pada fakta perkawinan. Oleh karena itu, kehati-hatian dalam penyusunan akta, transparansi niat para pihak, dan mekanisme pembatalan yang jelas menjadi kunci agar perjanjian pra-nikah tidak justru menimbulkan ketidakpastian dan sengketa di kemudian hari. Penelitian ini memberi kontribusi praktis bagi calon mempelai, notaris, dan aparat peradilan dalam mengelola risiko hukum seputar perjanjian perkawinan. (ed: Adella)
sumber: repository UNIMMA