Magelang, 25 Agustus 2025 – Penelitian terbaru yang dilakukan oleh Amrina Rosyada Hasan, mahasiswi Jurusan Bimbingan dan Konseling Islam UIN Raden Intan Lampung, mengangkat isu penting mengenai pola asuh orang tua terhadap anak yang mengalami gangguan kecemasan (anxiety disorder). Penelitian ini menyoroti bagaimana sikap, perilaku, serta pola interaksi orang tua dapat memengaruhi kondisi psikologis anak, khususnya mereka yang tengah berjuang menghadapi gangguan kecemasan.
Tujuan Penelitian
Amrina Rosyada Hasan menekankan bahwa tujuan utamanya adalah menggambarkan secara mendalam bentuk pola asuh orang tua dan dampaknya terhadap kondisi anak pengidap anxiety. Latar belakang penelitian ini muncul dari meningkatnya kasus gangguan kecemasan di kalangan anak-anak maupun remaja, yang sering kali tidak terlepas dari dinamika keluarga dan pola pengasuhan.
Peneliti ingin menjawab pertanyaan besar: bagaimana orang tua berperan dalam mengurangi atau justru memperparah tingkat kecemasan anak mereka?
Metode Penelitian
Dalam riset ini, Amrina menggunakan pendekatan kualitatif dengan metode studi kasus. Lokasi penelitian berada di SMAN 1 Sukoharjo, sebuah sekolah menengah atas di Lampung Tengah. Subjek penelitian adalah seorang siswa kelas XI yang didiagnosis mengalami gangguan kecemasan, serta kedua orang tuanya.
Data diperoleh melalui wawancara mendalam, observasi, dan dokumentasi. Teknik triangulasi digunakan untuk memastikan validitas informasi, sehingga hasil penelitian benar-benar mencerminkan kondisi nyata.
Hasil Penelitian
Penelitian Amrina menemukan bahwa pola asuh otoriter menjadi salah satu faktor yang berkontribusi terhadap munculnya kecemasan pada anak. Orang tua dengan pola otoriter cenderung menekan anak dengan aturan ketat, minim komunikasi, dan kurang memberikan ruang kebebasan. Hal ini membuat anak merasa tertekan, sulit mengekspresikan diri, dan rentan mengalami gangguan kecemasan.
Selain itu, ditemukan pula bahwa sikap orang tua yang sering menuntut kesempurnaan prestasi akademik tanpa mempertimbangkan kondisi psikologis anak dapat memperburuk gejala anxiety. Anak menjadi takut gagal, mudah panik, serta mengalami kesulitan bersosialisasi dengan teman sebaya.
Namun, penelitian ini juga menunjukkan sisi positif. Ketika orang tua mulai mengubah pola asuh menuju lebih demokratis dan suportif, gejala kecemasan pada anak dapat berangsur menurun. Orang tua yang mau mendengarkan keluhan anak, memberi kesempatan berdialog, serta menyediakan dukungan emosional, terbukti membantu anak menghadapi kecemasan dengan lebih baik.
Temuan yang Menarik
Salah satu temuan menarik adalah peran komunikasi dalam keluarga. Peneliti mencatat bahwa anak lebih tenang ketika orang tua terbuka dan mengurangi nada menghakimi. Bahkan hal sederhana seperti mendengarkan cerita anak tanpa menyela mampu memberi dampak besar pada stabilitas emosionalnya.
Selain itu, penelitian ini menggarisbawahi pentingnya dukungan sekolah. Guru yang memahami kondisi siswa dengan anxiety dapat membantu menciptakan lingkungan belajar yang lebih aman dan inklusif, sehingga siswa tidak semakin tertekan oleh tuntutan akademik.
Kesimpulan
Amrina Rosyada Hasan menyimpulkan bahwa pola asuh orang tua memegang peran vital dalam perkembangan psikologis anak pengidap anxiety. Pola asuh otoriter terbukti berkontribusi memperparah kecemasan, sementara pola asuh demokratis dan penuh dukungan dapat membantu anak lebih percaya diri dan stabil secara emosional.
Penelitian ini menjadi pengingat penting bagi para orang tua untuk lebih peka terhadap kebutuhan emosional anak. Bukan hanya prestasi akademik yang harus diperhatikan, tetapi juga kesehatan mental dan rasa aman anak dalam keluarga.
Relevansi
Riset ini relevan di tengah maraknya isu kesehatan mental di kalangan pelajar. Semakin banyak anak yang berjuang menghadapi kecemasan, depresi, hingga burnout, dan penelitian Amrina memberikan gambaran nyata bagaimana keluarga bisa menjadi kunci utama dalam membantu mereka.
Melalui penelitian ini, diharapkan masyarakat, khususnya para orang tua, semakin memahami bahwa pola asuh bukan sekadar mendidik, melainkan juga membentuk fondasi kesehatan mental anak.(ed.fatikakh)
Sumber : repositori UNIMMA