Magelang, 26 Agustus 2025- Nyeri haid atau yang dikenal dengan istilah dismenore merupakan keluhan klasik yang dialami hampir sebagian besar remaja putri. Rasa kram pada perut bagian bawah, pinggang yang pegal, hingga terganggunya aktivitas belajar di sekolah sering kali menjadi cerita rutin setiap bulan. Kondisi inilah yang melatarbelakangi Nur Wahyuni, mahasiswa Program Studi D3 Keperawatan Fakultas Ilmu Kesehatan Universitas Muhammadiyah Magelang, melakukan penelitian berjudul “Aplikasi Abdominal Stretching Exercise pada Nn. A terhadap Nyeri Akut dengan Dismenore” (2022).
Dalam penelitiannya, Wahyuni menekankan bahwa dismenore bukan sekadar keluhan ringan. Data menunjukkan lebih dari 50 persen perempuan di dunia mengalami gangguan ini, dengan angka di Indonesia mencapai 54,89 persen. Pada remaja, dampaknya cukup serius: mulai dari menurunnya konsentrasi belajar, meningkatnya ketidakhadiran di sekolah, hingga berkurangnya kualitas hidup.
Selama ini, banyak remaja mengandalkan obat pereda nyeri golongan NSAIDs seperti asam mefenamat atau ibuprofen. Namun, penggunaan obat tentu memiliki efek samping. Oleh sebab itu, penelitian Wahyuni mencoba menawarkan alternatif nonfarmakologis: abdominal stretching exercise, atau latihan peregangan perut. Latihan sederhana ini diyakini mampu melancarkan sirkulasi darah, meningkatkan oksigenasi jaringan, sekaligus membuat otot abdomen lebih rileks sehingga intensitas nyeri berkurang.
Tujuan dan Metode
Tujuan utama penelitian Wahyuni adalah memberikan gambaran nyata tentang bagaimana penerapan abdominal stretching exercise dapat membantu mengurangi nyeri menstruasi pada remaja. Secara khusus, penelitian ini berfokus pada pengkajian kondisi pasien, perumusan diagnosis keperawatan, implementasi latihan peregangan, hingga evaluasi keberhasilannya.
Metode yang digunakan adalah studi kasus pada seorang remaja berusia 16 tahun, sebut saja Nn. A, yang mengalami nyeri menstruasi tingkat sedang (skala nyeri 6 dari 10). Selama enam kali kunjungan dalam rentang Maret hingga April 2022, peneliti melakukan wawancara, observasi fisik, hingga mendokumentasikan latihan peregangan yang dilakukan responden. Latihan berisi enam gerakan dasar dilakukan selama 10 menit, dua hari sekali menjelang masa menstruasi.
Hasil Penelitian
Hasilnya cukup mencolok. Pada awalnya, Nn. A kerap mengeluh nyeri hebat hingga sulit beraktivitas normal. Raut wajah menyeringai, tubuh tampak lemas, bahkan sering hanya bisa tiduran untuk mengurangi sakit. Setelah enam kali sesi abdominal stretching exercise, keluhan tersebut berkurang drastis.
Responden melaporkan skala nyeri turun dari 6 (nyeri sedang) menjadi 3 (nyeri ringan). Secara objektif, ia tampak lebih rileks, tidak lagi gelisah, dan mampu mengikuti aktivitas sekolah dengan lebih baik.
Penelitian ini juga menemukan bahwa antusiasme responden berperan besar dalam keberhasilan terapi. Nn. A dengan tekun mengikuti instruksi sesuai prosedur standar yang diberikan peneliti. Hal ini mendukung teori bahwa keberhasilan intervensi nonfarmakologis bukan hanya dipengaruhi teknik yang digunakan, tetapi juga kesiapan mental dan motivasi pasien.
Implikasi dan Saran
Dalam kesimpulannya, Wahyuni menegaskan bahwa abdominal stretching exercise terbukti efektif menurunkan intensitas nyeri haid pada remaja dengan dismenore primer. Intervensi ini sederhana, aman, dan dapat dilakukan sendiri di rumah tanpa memerlukan biaya tambahan.
Peneliti juga memberikan sejumlah saran praktis. Bagi remaja putri, latihan ini bisa dijadikan alternatif rutin untuk mengurangi rasa nyeri tanpa harus selalu bergantung pada obat. Bagi tenaga kesehatan, hasil penelitian ini diharapkan menjadi referensi tambahan untuk mengajarkan metode nonfarmakologis kepada pasien yang mengalami keluhan serupa. Adapun bagi institusi pendidikan, penerapan latihan ini bisa dimasukkan ke dalam program kesehatan remaja di sekolah.
Penutup
Penelitian yang dilakukan Nur Wahyuni memberikan secercah harapan bagi remaja yang selama ini terbebani oleh nyeri haid. Dengan gerakan sederhana, disiplin, dan konsistensi, aktivitas sehari-hari yang sempat terganggu kini bisa kembali dijalani dengan lebih nyaman.
Hasil ini sekaligus mengingatkan bahwa solusi kesehatan tidak selalu datang dari obat-obatan. Terkadang, tubuh manusia hanya butuh dilatih, direnggangkan, dan diberi kesempatan untuk menyembuhkan dirinya sendiri. (ed. Wied)