Magelang 26 Agustus 2025 – Permasalahan kesehatan gigi dan mulut masih menjadi salah satu penyakit terbesar di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menunjukkan prevalensi karies gigi mencapai 88,8 persen, dengan masalah utama berupa gigi rusak, berlubang, dan nyeri yang dialami hampir 45,3 persen penduduk. Melihat kondisi tersebut, seorang peneliti muda dari Universitas Muhammadiyah Magelang, Aulia Maharani Eka Aryanti, melakukan kajian terkait pola peresepan obat di Poli Gigi Puskesmas Mertoyudan II Magelang pada periode Januari hingga Juni 2022.
Penelitian ini merupakan bagian dari tugas akhir untuk meraih gelar Ahli Madya Farmasi. Dengan metode deskriptif retrospektif, Aulia menelusuri 960 resep pasien poli gigi. Dari jumlah tersebut, diambil 283 resep sebagai sampel menggunakan teknik purposive sampling. Analisis dilakukan untuk menggambarkan karakteristik pasien serta jenis obat yang paling banyak diresepkan.
Pasien Didominasi Kelompok Produktif dan Perempuan
Hasil penelitian menunjukkan bahwa pasien poli gigi di Puskesmas Mertoyudan II mayoritas adalah perempuan (63 persen), sedangkan laki-laki tercatat 37 persen. Dari sisi usia, kelompok usia produktif (15–64 tahun) mendominasi dengan 71 persen pasien, disusul kelompok anak-anak (20 persen) dan lansia (9 persen).
Menurut Aulia, dominasi perempuan kemungkinan berkaitan dengan kesadaran yang lebih tinggi dalam menjaga kesehatan gigi serta waktu kunjungan yang lebih fleksibel dibandingkan laki-laki yang cenderung terkendala jam kerja.
Obat Generik Masih Jadi Andalan
Dalam praktik peresepan, penelitian ini menemukan bahwa 87 persen resep berisi obat generik, sementara 13 persen lainnya berupa obat paten. Meski angka tersebut cukup tinggi, Aulia mencatat belum sepenuhnya memenuhi standar WHO yang menganjurkan 100 persen penggunaan obat generik pada fasilitas kesehatan pemerintah.
Ketersediaan obat bermerek di Puskesmas umumnya terjadi akibat kekosongan stok obat generik, khususnya untuk multivitamin.
Analgesik Paling Banyak Diresepkan
Dari total obat yang diresepkan, kategori analgesik menempati posisi teratas dengan 37 persen. Jenis analgesik yang paling sering digunakan adalah Paracetamol (41 persen), diikuti Asam Mefenamat (34 persen), Antalgin (14 persen), Kalium Diklofenak (10 persen), dan Ibuprofen (1 persen).
“Paracetamol dipilih karena efektif meredakan nyeri tanpa menghilangkan kesadaran, aman digunakan anak-anak, ibu hamil, maupun menyusui, serta harganya relatif terjangkau,” jelas Aulia.
Amoksisilin Jadi Antibiotik Utama
Kategori antibiotik menyumbang 31 persen resep, dengan Amoksisilin mendominasi sebesar 68 persen. Selebihnya terdiri dari Cefixim (18 persen), Metronidazol (7 persen), Ciprofloxacin (4 persen), Cefadroxil (2 persen), dan Eritromisin (1 persen).
Aulia menegaskan, Amoksisilin dipilih karena termasuk antibiotik broad spectrum yang efektif melawan berbagai infeksi bakteri penyebab masalah gigi dan mulut, sekaligus memiliki harga ekonomis sehingga terjangkau masyarakat luas.
Antiinflamasi dan Vitamin Melengkapi Terapi
Penggunaan obat antiinflamasi tercatat relatif rendah, hanya 7 persen resep. Jenis yang paling dominan adalah Prednison (64,5 persen), sedangkan Metilprednisolon mencapai 35,5 persen. Obat ini umumnya diberikan pada kasus peradangan yang cukup parah.
Sementara itu, vitamin muncul pada 25 persen resep, dengan Vitamin B kompleks (26 persen) sebagai pilihan terbanyak. Vitamin ini dinilai bermanfaat dalam menjaga kesehatan mulut, mencegah peradangan gusi, serta mendukung pertumbuhan sel.
Bentuk Sediaan dan Frekuensi Pemberian
Bentuk sediaan obat yang paling banyak digunakan adalah tablet (69,5 persen), diikuti kaplet (16 persen), sirup (10 persen), dan kapsul (4,5 persen). Sedangkan frekuensi pemberian obat terbanyak adalah 3 kali sehari (3×1), terutama pada obat paracetamol, amoksisilin, dan asam mefenamat.
Kesimpulan Penelitian
Secara keseluruhan, penelitian Aulia Maharani menegaskan bahwa pola peresepan di Poli Gigi Puskesmas Mertoyudan II sejalan dengan kebutuhan terapi pasien gigi, yaitu dominasi analgesik untuk nyeri, antibiotik untuk infeksi, serta antiinflamasi pada kasus tertentu.
“Harapannya, hasil penelitian ini bisa menjadi acuan bagi puskesmas dalam penyediaan obat serta rujukan penelitian selanjutnya terkait farmasi klinis di bidang kesehatan gigi dan mulut,” tutup Aulia dalam kesimpulan karya ilmiahnya. (ed : noviyanti)
sumber :repository UNIMMA