Magelang 27 Agustus – Hidup sebagai mahasiswa perantau tidak sekadar soal menuntut ilmu, tetapi juga perjuangan dalam beradaptasi dengan lingkungan baru. Hal ini terpotret jelas dalam penelitian skripsi yang ditulis oleh Shallza Millinia Al’Qisthy, mahasiswa Program Studi Psikologi, Fakultas Psikologi dan Humaniora, Universitas Muhammadiyah Magelang. Penelitian yang diberi judul “Penyesuaian Diri Mahasiswa Rantau dari Aceh” ini berfokus pada pengalaman tiga mahasiswa asal Aceh yang menempuh pendidikan di Magelang.
Shallza mengangkat tema ini karena melihat adanya perbedaan mencolok antara budaya Aceh yang kental dengan syariat Islam dan adat lokal, dengan budaya Jawa di Magelang yang menjunjung tinggi kesopanan serta tata krama. Perbedaan inilah yang kerap memicu culture shock bagi mahasiswa rantau.
Tujuan Penelitian
Tujuan utama penelitian ini adalah mengetahui bagaimana cara mahasiswa rantau dari Aceh menyesuaikan diri dengan kehidupan di Magelang. Peneliti ingin menggali pengalaman personal mahasiswa dalam menghadapi perbedaan bahasa, adat, dan kebiasaan sehari-hari. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi literatur psikologi, khususnya mengenai penyesuaian diri mahasiswa perantau, serta menjadi referensi bagi universitas dan mahasiswa lain yang menghadapi tantangan serupa.
Metode Penelitian
Penelitian dilakukan sepanjang Juni 2022 hingga Mei 2023 dengan pendekatan kualitatif studi kasus. Data diperoleh melalui wawancara semi-terstruktur terhadap tiga mahasiswa asal Aceh yang sedang menempuh studi di Universitas Muhammadiyah Magelang. Untuk menjaga kerahasiaan, Shallza menggunakan inisial bagi ketiga subjek tersebut, yakni DNS (20 tahun), RB (26 tahun), dan RM (26 tahun).
Hasil Penelitian
Dari hasil wawancara, ditemukan bahwa ketiga mahasiswa menghadapi tantangan yang hampir serupa:
-
Perbedaan budaya dan bahasa. Misalnya, soal tata cara menyapa. Di Aceh, jika seseorang tidak menyapa dianggap lumrah, sementara di Magelang hal itu justru dipandang kurang sopan. Perbedaan kecil ini sering menimbulkan salah paham.
-
Rasa rindu kampung halaman (homesickness). Ketika rasa kangen memuncak, mereka biasanya menghubungi keluarga di Aceh melalui telepon atau mencari hiburan dengan berjalan-jalan.
-
Kesulitan ekonomi. Salah satu subjek, RB, bahkan harus bekerja di usaha fotokopi untuk menambah biaya hidup, sehingga waktunya harus terbagi antara kuliah dan pekerjaan.
Meski menghadapi berbagai kendala, masing-masing mahasiswa memiliki strategi berbeda untuk menyesuaikan diri. DNS, misalnya, memilih aktif berinteraksi dengan teman-teman dan dosen agar lebih cepat berbaur. RB mencoba bertahan dengan bekerja sambil kuliah, sementara RM mengandalkan dukungan keluarga lewat komunikasi intensif.
Peneliti menemukan bahwa kepribadian sangat berpengaruh terhadap keberhasilan adaptasi. Mahasiswa yang terbuka dan aktif cenderung lebih mudah menyesuaikan diri, sedangkan yang pemalu atau kurang komunikatif kerap mengalami hambatan dalam bergaul.
Kesimpulan dan Manfaat
Dalam simpulannya, Shallza menegaskan bahwa meskipun berbeda latar budaya, mahasiswa asal Aceh mampu menyesuaikan diri di Magelang melalui usaha-usaha kecil namun konsisten: berbaur dengan lingkungan, mengikuti adat setempat, hingga mengelola strategi pribadi untuk mengatasi kerinduan rumah.
Penelitian ini tidak hanya memberikan gambaran nyata tentang dinamika mahasiswa rantau, tetapi juga menyuguhkan pelajaran berharga bagi kampus dalam memberikan dukungan psikologis dan sosial. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini dapat menjadi rujukan praktis untuk menghadapi tantangan adaptasi di daerah baru.
Meski begitu, Shallza juga mencatat beberapa keterbatasan penelitian, antara lain kesulitan wawancara karena responden yang kurang kooperatif dan kendala teknis saat wawancara daring. Namun keterbatasan tersebut tidak mengurangi nilai penting penelitian ini sebagai sumbangan ilmiah di bidang psikologi sosial.
Penutup
Melalui penelitian ini, Shallza Millinia Al’Qisthy berhasil menyoroti sisi lain dari perjalanan mahasiswa rantau—sebuah cerita tentang keberanian meninggalkan kampung halaman, menghadapi gegar budaya, hingga menemukan cara untuk bertahan. Kisah-kisah DNS, RB, dan RM bukan hanya sekadar data penelitian, melainkan potret nyata kegigihan generasi muda Aceh dalam menaklukkan tantangan di tanah rantau. (ed : noviyanti)
sumber : repository UNIMMA